Oleh Dani Muhtada
Suara Merdeka, 9 November 2009
DI tengah hiruk pikuk kasus Bibit-Chandra, satu hal yang sangat penting dicermati masyarakat adalah keberadaan Dewan Perwalikan Rakyat (DPR). Sejak penahanan hingga pembebasan Bibit-Chandra, DPR cenderung diam tak bereaksi. Bahkan ketika dukungan facebookers mencapai 500 ribu sesaat sebelum pembebasan Bibit-Chandra, suara itu pun tidak terdengar.
Begitu terdengar, dalam rapat Komisi III dengan Polri, kabar yang keluar justru suara yang mengecewakan publik. Hasil rapat komisi tersebut sama sekali tidak mewakili apa yang sedang terjadi di masyarakat. Jutaan suara facebookers yang mendukung KPK sama sekali tidak terwakili.
Fenomena ini menarik dicermati lantaran DPR sejatinya merupakan institusi yang paling ”sah” menjadi representasi rakyat. Bukan hanya karena anggota dewan dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun juga karena konstelasi politik di DPR juga mewakili keragaman kepentingan di masyarakat. Karena itu, sangat mengherankan jika DPR sama sekali tidak menunjukkan empatinya kepada para pendukung KPK. Satu juta suara facebookers dianggap seperti angin lalu.
Ketiadaan empati tersebut menjadi semakin aneh mengingat DPR baru saja dilantik satu bulan lalu. Artinya, mereka masih sangat ”segar”. Ibarat orang baru masuk kancah pertempuran, keringat-keringat rakyat masih tercium kuat di tangan-tangan mereka. Jika baru dilantik saja sudah tidak peka akan suara rakyat, bagaimana rakyat bisa berharap kepekaan itu ada ketika mereka sudah duduk lama di kursi dewan yang terhormat?
Ironisnya, suara-suara rakyat justru mendapatkan salurannya dalam ruang maya bernama facebook. Tidak seperti institusi DPR yang dibiayai sangat mahal dari uang rakyat, facebook mampu menjadi penyambung lidah rakyat yang murah dan juga efektif. Tentu saja peran media, para tokoh masyarakat, dan LSM tidak dapat diabaikan. Tetapi yang menjadi poin di sini adalah bahwa dalam kasus ini kepentingan publik tidak diwakili oleh lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah ini mengindikasikan DPR baru mengalami disorientasi pascapemilu yang melelahkan? Bukankah kemarin ada pembekalan anggota dewan, yang konon menelan biaya hingga miliaran rupiah? Atau karena faktor-faktor internal dan eksternal lain?
Mengasah Kepekaan
Tentu tidak mudah menjawab persoalan ini. Yang pasti, ketidakberdayaan DPR menyuarakan kepentingan rakyat bisa membuat rakyat berpikiran macam-macam. Yang lebih berbahaya lagi, kepercayaan publik terhadap lembaga negara akan semakin menurun. Akhirnya rakyat menggunakan cara-cara ekstraparlementer seperti pada masa Orde Baru. Lembaga negara ada, tapi dianggap tidak ada. Jika dibiarkan, tentu akan berdampak sangat buruk bagi proses demokrasi lima tahun ke depan.
Hemat saya, tidak ada jalan lain bagi DPR kecuali mengasah lagi kepekaannya terhadap lingkungan. Bukan kepekaan semu, seperti yang dulu ramai ditunjukkan saat kampanye. Tapi kepekaan sejati demi menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya.
Di sini tulisan Ben Anderson (1996) sangat menarik untuk dicermati. Ahli Indonesia asal Amerika ini membandingkan partisipasi politik di Thailand, Filipina, dan Indonesia pada masa awal negara berdiri. Berbeda dari wakil rakyat di Thailand dan Filipina, wakil-wakil kita pada masa revolusi tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan warga masyarakat pada umumnya. Baik dari cara mereka berpakaian, maupun tempat tinggal mereka. Tentu perbedaan status sosial dan ekonomi ada saat itu. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.
Spirit ini semestinya menjadi pelajaran bagi wakil rakyat kita sekarang. Gaji yang tinggi serta fasilitas yang mewah tidak seharusnya menjauhkan mereka dari rakyat pemilihnya. Mengasah kepekaan adalah kewajiban yang harus senantiasa dilakukan. Tidak hanya pada masa kampanye, tapi juga pascapemilu.
Jika mau berubah, hemat saya DPR belumlah terlambat. Kasus Bibit-Chandra ini harus dijadikan momentum untuk membuktikan kepedulian DPR terhadap para konstituennya. Dalam konteks ini, kepedulian tersebut dapat ditunjukan dengan mengawal penuntasan kasus Bank Century, yang sesungguhnya menjadi biang kerok dari ”geger nasional” belakangan ini.
Langkah Strategis
Selain kasus Century, ada dua hal lain yang bisa dilakukan DPR terkait kasus ini. Pertama, mengambil langkah-langkah strategis untuk menjadikan Polri lebih profesional. Profesionalisme tersebut tidak hanya penting untuk mengembalikan citra Polri yang tengah terpuruk, tapi juga untuk memperkuat proses demokratisasi di Indonesia.
Sebagaimana para wakil rakyat sebelumnya telah berhasil mengawal reformasi TNI, DPR sekarang ditantang untuk mengawal reformasi kepolisian. Salah satunya adalah dengan membuat institusi Polri lebih civilian dan jauh dari kesan militeristik.
Tulisan Nico Harjanto di harian ini (SM, 2/11) menunjukkan bagaimana wewenang Polri masih terlalu besar dan sangat sentralistik. Di negara-negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, berbagai kewenangan tersebut didistribusikan ke berbagai institusi pemerintah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan jabatan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepolisian. DPR dapat mengawal proses reformasi polisi ini melalui kekuatan legislasi yang dimilikinya.
Kedua, kekuatan legislasi DPR juga harus digunakan untuk mempertajam upaya pemberantasan korupsi. Tidak dapat dimungkiri, penahanan Bibit-Chandra sedikit banyak berpengaruh pada kinerja KPK. Kita tidak menghendaki kasus ini membuat KPK kehilangan elan vitalnya sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Sebaliknya, kasus ini harus menjadi momentum untuk memperkuat lembaga KPK. Penguatan kelembagaan ini sangat penting lantaran korupsi sudah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu penanganannya pun harus dilakukan secara luar biasa oleh lembaga istimewa. Di sinilah peran DPR sangat strategis dan krusial.
Jika para anggota DPR benar-benar bertekad memberantas korupsi seperti yang dijanjikan saat kampanye dulu, tentu langkah-langkah strategis tersebut bukan hal aneh untuk dilakukan bukan? Sungguh, kami rakyat Indonesia sedang menagih janji-janji itu. (35)
—Dani Muhtada, dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, sedang menempuh S3 di Northern Illinois University USA
Monday, November 09, 2009
Wednesday, May 27, 2009
Perempuan Berkubang Lumpur Lapindo
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 27 Mei 2009
JUMAT (29/5) lusa genap tiga tahun lumpur panas menyerang Sidoarjo. Saat pertama kali menyembur, banyak orang tidak menduga dampaknya akan begitu luas. Hingga kini berbagai problem sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana ini belum terselesaikan.
Pemberitaan di media massa hanya berkutat pada soal ganti rugi. Padahal, kerugian immateriil dari bencana ini tak sedikit. Ironisnya, perempuan lagi-lagi menjadi ke-lompok korban bencana yang me-nanggung beban lebih kompleks.
Di luar problem kolektif yang dialami para korban lumpur pada umumnya, problem yang dihadapi perempuan lebih kompleks karena beberapa hal.
Pertama, beban domestik yang ditanggung perempuan, terutama di kamp-kamp pengungsian, makin berat. Pada awal 2007, 14.768 pengungsi bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru (Tempointeraktif, 22 Januari 2007).
Meski kini jumlahnya sudah menurun, persoalan yang dihadapi pengungsi tidak juga berkurang. Bagi perempuan, persoalan penting yang dihadapi antara lain keterbatasan sarana air bersih, MCK, dan fasilitas dapur.
Kultur Patriarkhi
Ketiadaan sarana dan fasilitas itu tentu menambah beban perempuan, mengingat kultur patriarkhi biasanya menyerahkan tanggung jawab kerja domestik pada perempuan. Mulai dari mengurus anak dan lansia, memasak, mencuci, dan memelihara barang-barang "rumah".
Kedua, beban tersebut makin berat bagi ibu hamil dan menyusui. Tradisi mitigasi bencana yang tidak berwawasan gender membuat bantuan pangan biasanya melupakan standar gizi bagi ibu hamil dan menyusui. Demikian pula layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui.
Ketiga, munculnya ancaman women trafficking yang sistematis. Para relawan dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Sidoarjo pernah mendampingi dua perempuan di bawah umur yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Tretes Pasuruan. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan iming-iming gaji lumayan (Sindo, 25 Juni 2007).
Para aktivis Koalisi Perempuan Pro-Demokrasi juga pernah mendampingi empat perempuan korban yang menjadi PSK di lokalisasi Dolly dan Tretes. Usia mereka berkisar 16-35 tahun, berasal dari Desa Kedungbendo, Jatirejo, dan Siring (Kompas, 25 Juni 2007).
Fenomena women trafficking sangat mungkin merupakan gejala gunung emas. Artinya, yang tidak terlacak jauh lebih banyak daripada yang diberitakan. Apalagi berbagai problem sosial dan ekonomi masih dirasakan sebagian besar para korban lumpur hingga saat ini.
PR Serius
Kompleksitas beban yang di-tanggung perempuan di wilayah bencana lumpur ini sungguh menjadi PR serius bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan kemunculan bencana ini.
Problem struktural yang dialami perempuan korban bencana itu dijelaskan oleh Elaine Enarson, sosiolog asal Kanada, dalam bukunya yang berjudul "Gender and Natural Disaster". Menurut Enarson, kaum perempuan lebih lebih rentan terhadap bencana, melalui peran-peran sosial yang tercipta untuk mereka.
Perempuan lebih sedikit memiliki akses terhadap berbagai sumber daya. Misalnya akses terhadap jaringan dan pengaruh sosial, transportasi, informasi, keterampilan dan literasi, penguasaan lahan dan sumber-sumber ekonomi lainnya, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, rasa aman dari kekerasan, dan kontrol atas pengambilan keputusan.
Padahal akses terhadap sumber-sumber daya tersebut sangat penting dalam mendukung kesiapsiagaan terhadap bencana, proses mitigasi, dan rehabilitasi pasca bencana.
Untuk meningkatkan resiliensi perempuan terhadap bencana, akses-akses tersebut harus dibuka. Ini tak hanya berlaku dalam kasus lumpur di Sidoarjo, namun juga untuk kasus-kasus bencana lainnya.
Dalam kasus lumpur Lapindo, perempuan harus diberi kontrol yang sama dalam keputusan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan tentang mitigasi dan rehabilitasi bencana harus juga melibatkan suara perempuan.
Keterlibatan ini tak hanya menyangkut keputusan besar seperti relokasi dan ganti rugi, tetapi juga hal-hal yang tampak "sepele" seperti penentuan lokasi MCK, sumber air bersih, dapur ,dan desain pengungsian yang "ramah" perempuan.
Dengan keterlibatan aktif perempuan, maka suara dan kepentingan perempuan akan lebih bisa didengar dan dipertimbangkan.
Hal ini penting agar kubangan lumpur yang sudah bertahan tiga tahun ini tidak lagi terlalu membuat sesak dada perempuan. Semoga!
(Dani Muhtada, staf pengajar FH Universitas Negeri Semarang, alumnus Flinders University Australia-32)
Dimuat di Suara Merdeka, 27 Mei 2009
JUMAT (29/5) lusa genap tiga tahun lumpur panas menyerang Sidoarjo. Saat pertama kali menyembur, banyak orang tidak menduga dampaknya akan begitu luas. Hingga kini berbagai problem sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana ini belum terselesaikan.
Pemberitaan di media massa hanya berkutat pada soal ganti rugi. Padahal, kerugian immateriil dari bencana ini tak sedikit. Ironisnya, perempuan lagi-lagi menjadi ke-lompok korban bencana yang me-nanggung beban lebih kompleks.
Di luar problem kolektif yang dialami para korban lumpur pada umumnya, problem yang dihadapi perempuan lebih kompleks karena beberapa hal.
Pertama, beban domestik yang ditanggung perempuan, terutama di kamp-kamp pengungsian, makin berat. Pada awal 2007, 14.768 pengungsi bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru (Tempointeraktif, 22 Januari 2007).
Meski kini jumlahnya sudah menurun, persoalan yang dihadapi pengungsi tidak juga berkurang. Bagi perempuan, persoalan penting yang dihadapi antara lain keterbatasan sarana air bersih, MCK, dan fasilitas dapur.
Kultur Patriarkhi
Ketiadaan sarana dan fasilitas itu tentu menambah beban perempuan, mengingat kultur patriarkhi biasanya menyerahkan tanggung jawab kerja domestik pada perempuan. Mulai dari mengurus anak dan lansia, memasak, mencuci, dan memelihara barang-barang "rumah".
Kedua, beban tersebut makin berat bagi ibu hamil dan menyusui. Tradisi mitigasi bencana yang tidak berwawasan gender membuat bantuan pangan biasanya melupakan standar gizi bagi ibu hamil dan menyusui. Demikian pula layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui.
Ketiga, munculnya ancaman women trafficking yang sistematis. Para relawan dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Sidoarjo pernah mendampingi dua perempuan di bawah umur yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Tretes Pasuruan. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan iming-iming gaji lumayan (Sindo, 25 Juni 2007).
Para aktivis Koalisi Perempuan Pro-Demokrasi juga pernah mendampingi empat perempuan korban yang menjadi PSK di lokalisasi Dolly dan Tretes. Usia mereka berkisar 16-35 tahun, berasal dari Desa Kedungbendo, Jatirejo, dan Siring (Kompas, 25 Juni 2007).
Fenomena women trafficking sangat mungkin merupakan gejala gunung emas. Artinya, yang tidak terlacak jauh lebih banyak daripada yang diberitakan. Apalagi berbagai problem sosial dan ekonomi masih dirasakan sebagian besar para korban lumpur hingga saat ini.
PR Serius
Kompleksitas beban yang di-tanggung perempuan di wilayah bencana lumpur ini sungguh menjadi PR serius bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan kemunculan bencana ini.
Problem struktural yang dialami perempuan korban bencana itu dijelaskan oleh Elaine Enarson, sosiolog asal Kanada, dalam bukunya yang berjudul "Gender and Natural Disaster". Menurut Enarson, kaum perempuan lebih lebih rentan terhadap bencana, melalui peran-peran sosial yang tercipta untuk mereka.
Perempuan lebih sedikit memiliki akses terhadap berbagai sumber daya. Misalnya akses terhadap jaringan dan pengaruh sosial, transportasi, informasi, keterampilan dan literasi, penguasaan lahan dan sumber-sumber ekonomi lainnya, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, rasa aman dari kekerasan, dan kontrol atas pengambilan keputusan.
Padahal akses terhadap sumber-sumber daya tersebut sangat penting dalam mendukung kesiapsiagaan terhadap bencana, proses mitigasi, dan rehabilitasi pasca bencana.
Untuk meningkatkan resiliensi perempuan terhadap bencana, akses-akses tersebut harus dibuka. Ini tak hanya berlaku dalam kasus lumpur di Sidoarjo, namun juga untuk kasus-kasus bencana lainnya.
Dalam kasus lumpur Lapindo, perempuan harus diberi kontrol yang sama dalam keputusan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan tentang mitigasi dan rehabilitasi bencana harus juga melibatkan suara perempuan.
Keterlibatan ini tak hanya menyangkut keputusan besar seperti relokasi dan ganti rugi, tetapi juga hal-hal yang tampak "sepele" seperti penentuan lokasi MCK, sumber air bersih, dapur ,dan desain pengungsian yang "ramah" perempuan.
Dengan keterlibatan aktif perempuan, maka suara dan kepentingan perempuan akan lebih bisa didengar dan dipertimbangkan.
Hal ini penting agar kubangan lumpur yang sudah bertahan tiga tahun ini tidak lagi terlalu membuat sesak dada perempuan. Semoga!
(Dani Muhtada, staf pengajar FH Universitas Negeri Semarang, alumnus Flinders University Australia-32)
Tuesday, May 26, 2009
Hukum Haram Facebook
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 26 Mei 2009
FORUM Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur dikabarkan mengharamkan penggunaan facebook (FB). Hal ini terutama untuk penggunaan facebook yang berlebihan. Misalnya penggunaan yang menjurus perbuatan mesum dan tidak bermanfaat.
Seperti diketahui, sejak peluncuran pertama pada 4 Februari 2004, perkembangan facebook memang luar biasa. Hingga Januari 2009, situs yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg ini telah menghimpun tidak kurang dari 200 juta anggota aktif dari seluruh dunia. Di Indonesia, konon jumlah pengguna aktif facebook telah mencapai empat juta. Melalui situs ini, seseorang dapat berinteraksi dengan berbagai orang di penjuru dunia. Mereka telah lama kenal maupun belum pernah bertemu sama sekali.
Mengidentifikasi Persoalan
Ketika mengidentifikasi status keharaman sebuah objek, kita perlu membedakan antara esensi sebuah objek dan peruntukan. Facebook pada dasarnya adalah wahana jejaring sosial. Situs ini mewadahi para anggota untuk berkomunikasi satu sama lain.
Seseorang bisa sekadar menjalin komunikasi dengan orang lain atau membuat komunitas sendiri dengan anggota-anggota yang memiliki karakter sama. Dalam situs ini, orang bisa bertukar pengalaman, menawarkan barang, melakukan dakwah, bahkan melakukan kejahatan sosial seperti penipuan, penghasutan, pembunuhan karakter, maupun pencurian (identitas) untuk kepentingan tertentu.
Sebagai sebuah wahana sosial, fungsi facebook sama dengan fungsi desa atau kota. Para anggota dapat melakukan aktivitas apapun untuk menunjukkan eksistensi mereka. Seperti desa atau kota, wahana sosial seperti ini adalah keniscayaan sejarah. Sebab watak manusia perlu akan jejaring sosial. Hidup dalam sebuah jejaring sosial adalah sunnatullah. Karena itu, mengharamkan wahana sosial seperti desa, kota, atau facebook sama dengan melawan sunnatullah.
Memang, di dalam wahana sosial tersebut seseorang dapat saja melakukan tindakan-tindakan haram. Seperti penipuan, pembunuhan karakter, atau penyebaran hal-hal yang berbau mesum. Namun, hal itu tidak berarti bahwa sarana turut menjadi haram.
Sebagai sebuah wahana, facebook adalah netral. Wahana tersebut tergantung para pengguna. Jika diibaratkan dengan sebuah mobil, kendaraan ini dapat digunakan untuk menegakkan kebenaran, dapat pula digunakan untuk menyebarkan kemungkaran. Yang halal atau haram adalah penggunaan mobil tersebut, bukan mobil itu sendiri. Demikian pula halnya dengan facebook.
Empat Kemungkinan
Dugaan penulis, munculnya keputusan haram atas facebook dalam musyawarah FMPP Jawa Timur itu mengandung empat kemungkinan. Pertama, para peserta tidak sesungguhnya mengerti apa itu facebook. Seandainya tahu, sangat mungkin pengetahuan tersebut didapat dari orang ketiga yang bukan pengguna aktif facebook.
Kalau toh informasi itu didapat dari pengguna, sangat mungkin informasi itu hanya sepotong-potong; tidak utuh. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan atas dasar informasi itu menjadi tidak valid. Dalam metodologi penelitian, istilahnya adalah garbage in garbage out. Jika data yang didapat benar, hasil analisisnya pun benar. Jika datanya kabur, hasilnya pun bisa dipastikan ngawur.
Kemungkinan kedua, para peserta mengetahui apa itu facebook, namun gagal mengidentifikasi persoalan dengan tepat. Mereka khawatir penggunaan facebook untuk hal-hal yang berbau mesum dan maksiat. Ketika mereka mendapati facebook cenderung digunakan untuk hal-hal tersebut, keluarlah keputusan haram.
Kemungkinan ketiga, para peserta paham apa itu facebook dan mampu mengidentifikasi persoalan. Namun, mereka gagal menerapkan teori hukum Islam secara tepat. Memang, ada kaidah fiqh yang menyatakan, ”Hukum instrumen sama dengan hukum peruntukannya” (lil wasa'il hukmul maqasid). Namun kaidah ini tidak bisa digeneralisir untuk instrumen yang bagian-bagiannya memiliki fungsi beragam. Penggunaan satu fungsi yang haram, tidak dengan serta-merta mengharamkan penggunaan fungsi-fungsi lain dari instrumen tersebut. Dalam kaidah lain dinyatakan: ”Apa yang tidak bisa didapat semua, tidak bisa ditinggalkan semua” (ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh).
Kemungkinan keempat, peserta FMPP memahami apa itu facebook dan mampu mengidentifikasi persoalan sesungguhnya. Mereka sungguh-sungguh hanya mengharamkan penggunaan facebook yang tidak sesuai syariah, bukan facebook itu sendiri. Hanya saja, umat menangkap secara keliru.Jika ini yang terjadi, maka yang diperlukan adalah sikap tabayyun tentang keputusan tersebut. Tabayyun ini sangat penting agar masyarakat pengguna facebook tidak resah dan tidak menuduh FMPP telah membuat keputusan tanpa basis pengetahuan yang memadai. Jika perlu, FMPP melakukan proses tabayyun ini melalui situs facebook. (80)
—Dani Muhtada, staf pengajar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Dimuat di Suara Merdeka, 26 Mei 2009
FORUM Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur dikabarkan mengharamkan penggunaan facebook (FB). Hal ini terutama untuk penggunaan facebook yang berlebihan. Misalnya penggunaan yang menjurus perbuatan mesum dan tidak bermanfaat.
Seperti diketahui, sejak peluncuran pertama pada 4 Februari 2004, perkembangan facebook memang luar biasa. Hingga Januari 2009, situs yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg ini telah menghimpun tidak kurang dari 200 juta anggota aktif dari seluruh dunia. Di Indonesia, konon jumlah pengguna aktif facebook telah mencapai empat juta. Melalui situs ini, seseorang dapat berinteraksi dengan berbagai orang di penjuru dunia. Mereka telah lama kenal maupun belum pernah bertemu sama sekali.
Mengidentifikasi Persoalan
Ketika mengidentifikasi status keharaman sebuah objek, kita perlu membedakan antara esensi sebuah objek dan peruntukan. Facebook pada dasarnya adalah wahana jejaring sosial. Situs ini mewadahi para anggota untuk berkomunikasi satu sama lain.
Seseorang bisa sekadar menjalin komunikasi dengan orang lain atau membuat komunitas sendiri dengan anggota-anggota yang memiliki karakter sama. Dalam situs ini, orang bisa bertukar pengalaman, menawarkan barang, melakukan dakwah, bahkan melakukan kejahatan sosial seperti penipuan, penghasutan, pembunuhan karakter, maupun pencurian (identitas) untuk kepentingan tertentu.
Sebagai sebuah wahana sosial, fungsi facebook sama dengan fungsi desa atau kota. Para anggota dapat melakukan aktivitas apapun untuk menunjukkan eksistensi mereka. Seperti desa atau kota, wahana sosial seperti ini adalah keniscayaan sejarah. Sebab watak manusia perlu akan jejaring sosial. Hidup dalam sebuah jejaring sosial adalah sunnatullah. Karena itu, mengharamkan wahana sosial seperti desa, kota, atau facebook sama dengan melawan sunnatullah.
Memang, di dalam wahana sosial tersebut seseorang dapat saja melakukan tindakan-tindakan haram. Seperti penipuan, pembunuhan karakter, atau penyebaran hal-hal yang berbau mesum. Namun, hal itu tidak berarti bahwa sarana turut menjadi haram.
Sebagai sebuah wahana, facebook adalah netral. Wahana tersebut tergantung para pengguna. Jika diibaratkan dengan sebuah mobil, kendaraan ini dapat digunakan untuk menegakkan kebenaran, dapat pula digunakan untuk menyebarkan kemungkaran. Yang halal atau haram adalah penggunaan mobil tersebut, bukan mobil itu sendiri. Demikian pula halnya dengan facebook.
Empat Kemungkinan
Dugaan penulis, munculnya keputusan haram atas facebook dalam musyawarah FMPP Jawa Timur itu mengandung empat kemungkinan. Pertama, para peserta tidak sesungguhnya mengerti apa itu facebook. Seandainya tahu, sangat mungkin pengetahuan tersebut didapat dari orang ketiga yang bukan pengguna aktif facebook.
Kalau toh informasi itu didapat dari pengguna, sangat mungkin informasi itu hanya sepotong-potong; tidak utuh. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan atas dasar informasi itu menjadi tidak valid. Dalam metodologi penelitian, istilahnya adalah garbage in garbage out. Jika data yang didapat benar, hasil analisisnya pun benar. Jika datanya kabur, hasilnya pun bisa dipastikan ngawur.
Kemungkinan kedua, para peserta mengetahui apa itu facebook, namun gagal mengidentifikasi persoalan dengan tepat. Mereka khawatir penggunaan facebook untuk hal-hal yang berbau mesum dan maksiat. Ketika mereka mendapati facebook cenderung digunakan untuk hal-hal tersebut, keluarlah keputusan haram.
Kemungkinan ketiga, para peserta paham apa itu facebook dan mampu mengidentifikasi persoalan. Namun, mereka gagal menerapkan teori hukum Islam secara tepat. Memang, ada kaidah fiqh yang menyatakan, ”Hukum instrumen sama dengan hukum peruntukannya” (lil wasa'il hukmul maqasid). Namun kaidah ini tidak bisa digeneralisir untuk instrumen yang bagian-bagiannya memiliki fungsi beragam. Penggunaan satu fungsi yang haram, tidak dengan serta-merta mengharamkan penggunaan fungsi-fungsi lain dari instrumen tersebut. Dalam kaidah lain dinyatakan: ”Apa yang tidak bisa didapat semua, tidak bisa ditinggalkan semua” (ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh).
Kemungkinan keempat, peserta FMPP memahami apa itu facebook dan mampu mengidentifikasi persoalan sesungguhnya. Mereka sungguh-sungguh hanya mengharamkan penggunaan facebook yang tidak sesuai syariah, bukan facebook itu sendiri. Hanya saja, umat menangkap secara keliru.Jika ini yang terjadi, maka yang diperlukan adalah sikap tabayyun tentang keputusan tersebut. Tabayyun ini sangat penting agar masyarakat pengguna facebook tidak resah dan tidak menuduh FMPP telah membuat keputusan tanpa basis pengetahuan yang memadai. Jika perlu, FMPP melakukan proses tabayyun ini melalui situs facebook. (80)
—Dani Muhtada, staf pengajar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Wednesday, April 15, 2009
HR Rasuna Said, Ulama dan Perempuan Pejuang
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 15 April 2009
NAMA HR Rasuna Said selama ini lebih dikenal sebagai nama jalan protokol di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Mungkin tidak banyak yang mengenal siapa sebenarnya tokoh ini. Padahal, Rasuna Said adalah seorang ulama, sekaligus perempuan pejuang yang terkemuka di zamannya.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhamad Said, adalah pengusaha sukses di daerahnya. Setamat pendidikan dasar, Rasuna Said melanjutkan pendidikan di Diniyah School Puteri Padang, di bawah asuhan Zainuddin Labai el-Yunusi.
Karena kecerdasannya, pada waktu kelas 5 dan 6, ia dipercaya mengajar di kelas-kelas yang lebih rendah. Kemudian ia melanjutkan pelajaran agamanya kepada Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang merupakan salah satu tokoh pembaru di Minangkabau. Ia pun sempat belajar di Sekolah Thawalib Maninjau selama dua tahun, di bawah asuhan Haji Udin Rahmani.
Kesadarannya yang tinggi tentang kesetaraan gender serta kepeduliannya terhadap nasib bangsa membuatnya terlibat aktif dalam berbagai organisasi perjuangan. Tahun 1930, Rasuna ikut mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi), sebuah organisasi perjuangan.
Ia aktif mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi. Lewat organisasi ini, ia juga turut mendirikan berbagai sekolah di polosok-pelosok Sumatera Barat. Sebuah Kursus Putri di Bukittinggi pun sempat dipimpinnya.
Rasuna juga dikenal sebagai orator dan aktivis yang gigih menentang penjajahan Belanda. Karena pidatonya sangat tajam terhadap pemerintah Belanda, ia ditangkap dan dipenjara di Semarang (1932).
Ia menjadi perempuan pertama yang dijerat pasal Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang dapat menghukum siapapun yang berbicara keras menentang Belanda.
Untuk menyuarakan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan dan kesetaraan perempuan, Rasuna juga aktif dalam jurnalisme. Ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya.
Di Medan, ia menerbitkan majalah Menara Putri, yang khusus mengulas masalah keislaman, kesetaraan perempuan, dan peran perempuan. Di Medan pula, ia mendirikan Perguruan Putri, yakni sekolah pendidikan khusus perempuan.
Setelah kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian ia terpilih sebagai anggota DPR-RIS di tahun 1950-an. Pada 1959, Rasuna diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga akhir hayatnya, 2 November 1965. Karena jasa-jasanya, Rasuna dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta.
Menentang Ombak
Aktivitas dan perjuangan Rasuna dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi generasi penerus, terutama yang memiliki perhatian pada perjuangan perempuan dan kesetaraan gender.
Pertama, Rasuna merupakan prototipe perempuan pejuang yang tidak hanya ’’bisa bicara’’, namun juga mampu mengimplementasikan gagasan-gagasannya dalam praktik. Selain orasinya yang memesona, Rasuna juga membuka berbagai sekolah dan turut mengajar.
Ia juga menerbitkan majalah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Para aktivis zaman sekarang memiliki fasilitas yang lebih untuk mengembangkan dan mengaktualisasi dirinya. Selain itu, dukungan dari berbagai sistem juga memudahkan aktivis modern dalam mewujudkan gagasannya. Mereka hanya perlu kemauan, keyakinan, dan kerja keras untuk meraih cita-cita. Spirit inilah yang melekat kuat pada diri Rasuna Said, dan seyogyanya menginspirasi para aktivis Indonesia kontemporer.
Kedua, untuk sebuah idealisme, Rasuna berani menentang ombak. Ia rela menggadaikan kebebasannya di penjara.
Tetapi, penjara gagal membungkamnya. Sebaliknya, semangat Rasuna makin berkobar, dan keberaniannya makin mengkristal. Sungguh, ini pelajaran sangat berharga bagi para aktivis Indonesia modern. Rasuna mengajarkan kepada kita untuk lebih mengedepankan idealisme dan tak menomorsatukan hal-hal yang bersifat duniawi.
Sebagai pejuang, Rasuna benar-benar mengamalkan ajaran Nabi: ’’Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya’’. Rasuna memilih tak hanya berjuang dengan lisan semata, tetapi juga dengan tangannya, dengan mendirikan berbagai sekolah dan penerbitan majalah.
Ketiga, dalam konteks pemilu, tokoh Rasuna menjadi pelajaran berharga bagi para caleg perempuan. Rasuna tampil menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera dan anggota DPR-RIS bukan karena kasihan atau pesona fisiknya. Ia dipilih karena memang secara intrinsik memiliki keunggulan dan kapabilitas untuk menjadi wakil rakyat. Rasuna dikenal amat cerdas, berani dan lincah dalam mengartikulasikan ide-idenya.
Para caleg perempuan di zaman sekarang lebih beruntung. Ada sistem yang memudahkannya untuk menjadi wakil rakyat. Misalnya melalui strategi affirmative action, meski pada akhirnya dianulir Mahkamah Konstitusi. Tetapi, setidaknya, kultur masyarakat saat ini lebih terbuka daripada kultur masyarakat di masa Rasuna.
Secara implisit, kisah Rasuna mengajarkan kepada para caleg untuk tidak menjual ketenaran dan kecantikan belaka, demi meraih simpati. Yang harus ditonjolkan adalah kecerdasan, keberanian, dan integritas untuk selalu menyuarakan hati nurani.
Semoga hasil Pemilu Legislatif 2009 bisa memunculkan Rasuna-Rasuna muda yang lebih cerdas, lebih profesional, dan memiliki integritas demi kepentingan rakyat. Semoga!
(Dani Muhtada, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang-32)
Dimuat di Suara Merdeka, 15 April 2009
NAMA HR Rasuna Said selama ini lebih dikenal sebagai nama jalan protokol di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Mungkin tidak banyak yang mengenal siapa sebenarnya tokoh ini. Padahal, Rasuna Said adalah seorang ulama, sekaligus perempuan pejuang yang terkemuka di zamannya.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhamad Said, adalah pengusaha sukses di daerahnya. Setamat pendidikan dasar, Rasuna Said melanjutkan pendidikan di Diniyah School Puteri Padang, di bawah asuhan Zainuddin Labai el-Yunusi.
Karena kecerdasannya, pada waktu kelas 5 dan 6, ia dipercaya mengajar di kelas-kelas yang lebih rendah. Kemudian ia melanjutkan pelajaran agamanya kepada Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang merupakan salah satu tokoh pembaru di Minangkabau. Ia pun sempat belajar di Sekolah Thawalib Maninjau selama dua tahun, di bawah asuhan Haji Udin Rahmani.
Kesadarannya yang tinggi tentang kesetaraan gender serta kepeduliannya terhadap nasib bangsa membuatnya terlibat aktif dalam berbagai organisasi perjuangan. Tahun 1930, Rasuna ikut mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi), sebuah organisasi perjuangan.
Ia aktif mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi. Lewat organisasi ini, ia juga turut mendirikan berbagai sekolah di polosok-pelosok Sumatera Barat. Sebuah Kursus Putri di Bukittinggi pun sempat dipimpinnya.
Rasuna juga dikenal sebagai orator dan aktivis yang gigih menentang penjajahan Belanda. Karena pidatonya sangat tajam terhadap pemerintah Belanda, ia ditangkap dan dipenjara di Semarang (1932).
Ia menjadi perempuan pertama yang dijerat pasal Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang dapat menghukum siapapun yang berbicara keras menentang Belanda.
Untuk menyuarakan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan dan kesetaraan perempuan, Rasuna juga aktif dalam jurnalisme. Ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya.
Di Medan, ia menerbitkan majalah Menara Putri, yang khusus mengulas masalah keislaman, kesetaraan perempuan, dan peran perempuan. Di Medan pula, ia mendirikan Perguruan Putri, yakni sekolah pendidikan khusus perempuan.
Setelah kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian ia terpilih sebagai anggota DPR-RIS di tahun 1950-an. Pada 1959, Rasuna diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga akhir hayatnya, 2 November 1965. Karena jasa-jasanya, Rasuna dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta.
Menentang Ombak
Aktivitas dan perjuangan Rasuna dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi generasi penerus, terutama yang memiliki perhatian pada perjuangan perempuan dan kesetaraan gender.
Pertama, Rasuna merupakan prototipe perempuan pejuang yang tidak hanya ’’bisa bicara’’, namun juga mampu mengimplementasikan gagasan-gagasannya dalam praktik. Selain orasinya yang memesona, Rasuna juga membuka berbagai sekolah dan turut mengajar.
Ia juga menerbitkan majalah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Para aktivis zaman sekarang memiliki fasilitas yang lebih untuk mengembangkan dan mengaktualisasi dirinya. Selain itu, dukungan dari berbagai sistem juga memudahkan aktivis modern dalam mewujudkan gagasannya. Mereka hanya perlu kemauan, keyakinan, dan kerja keras untuk meraih cita-cita. Spirit inilah yang melekat kuat pada diri Rasuna Said, dan seyogyanya menginspirasi para aktivis Indonesia kontemporer.
Kedua, untuk sebuah idealisme, Rasuna berani menentang ombak. Ia rela menggadaikan kebebasannya di penjara.
Tetapi, penjara gagal membungkamnya. Sebaliknya, semangat Rasuna makin berkobar, dan keberaniannya makin mengkristal. Sungguh, ini pelajaran sangat berharga bagi para aktivis Indonesia modern. Rasuna mengajarkan kepada kita untuk lebih mengedepankan idealisme dan tak menomorsatukan hal-hal yang bersifat duniawi.
Sebagai pejuang, Rasuna benar-benar mengamalkan ajaran Nabi: ’’Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya’’. Rasuna memilih tak hanya berjuang dengan lisan semata, tetapi juga dengan tangannya, dengan mendirikan berbagai sekolah dan penerbitan majalah.
Ketiga, dalam konteks pemilu, tokoh Rasuna menjadi pelajaran berharga bagi para caleg perempuan. Rasuna tampil menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera dan anggota DPR-RIS bukan karena kasihan atau pesona fisiknya. Ia dipilih karena memang secara intrinsik memiliki keunggulan dan kapabilitas untuk menjadi wakil rakyat. Rasuna dikenal amat cerdas, berani dan lincah dalam mengartikulasikan ide-idenya.
Para caleg perempuan di zaman sekarang lebih beruntung. Ada sistem yang memudahkannya untuk menjadi wakil rakyat. Misalnya melalui strategi affirmative action, meski pada akhirnya dianulir Mahkamah Konstitusi. Tetapi, setidaknya, kultur masyarakat saat ini lebih terbuka daripada kultur masyarakat di masa Rasuna.
Secara implisit, kisah Rasuna mengajarkan kepada para caleg untuk tidak menjual ketenaran dan kecantikan belaka, demi meraih simpati. Yang harus ditonjolkan adalah kecerdasan, keberanian, dan integritas untuk selalu menyuarakan hati nurani.
Semoga hasil Pemilu Legislatif 2009 bisa memunculkan Rasuna-Rasuna muda yang lebih cerdas, lebih profesional, dan memiliki integritas demi kepentingan rakyat. Semoga!
(Dani Muhtada, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang-32)
Wednesday, March 11, 2009
Strategi Pemberantasan Nikah Siri
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 11 Maret 2009
Salah satu praktik sosial yang dianggap ”legal” oleh masyarakat Muslim Indonesia tetapi sejatinya merugikan perempuan adalah praktik nikah sirri. Secara etimologi, kata ”sirri” berasal dari bahasa Arab sirrun, yang berarti rahasia. Secara terminologi, nikah sirri merujuk pada pernikahan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak dicatat secara resmi oleh negara. Karena dilakukan di bawah tangan, maka biasanya pernikahan seperti ini dilakukan secara diam-diam atau rahasia.
Sebenarnya istilah nikah sirri tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh klasik. Memang, ada pendapat menyatakan bahwa istilah nikah sirri sudah muncul sejak zaman Malik bin Anas (w. 800), pendiri mazhab Maliki. Tetapi ketika itu, istilah tersebut merujuk pada pernikahan yang para saksinya diminta merahasiakan pernikahan karena alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia, istilah nikah sirri dengan pengertian "nikah di bawah tangan, diduga muncul sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974. Undang-undang ini mewajibkan orang Islam untuk mendaftarkan pernikahannya kepada negara. Beberapa orang yang ”enggan” mencatatkan perkawinannya atau menunda pencatatan nikahnya oleh Kantor Urusan Agama (KUA) menyebut perkawinan mereka dengan istilah nikah sirri.
Penyebutan ini sesungguhnya merupakan upaya melegitimasi apa yang sebenarnya tidak legitimate di mata negara. Dalam hukum Islam, pernikahan sudah dianggap sah manakala ia dilakukan dengan persetujuan wali, ditandai dengan pengucapan sighat nikah, dan disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat. Aturan fiqh konvensional tidak mempersyaratkan pernikahan harus dicatat oleh penguasa. Rasulullah hanya menganjurkan para pihak untuk mengumumkan perkawinan mereka kepada khalayak. Nabi bersabda, ”Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR Ibnu Majah dari Aisyah). Hadits lain menyebutkan, ”Rayakanlah pernikahan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR Al-Bukhari dari Abdurrahman bin Auf). Anjuran-anjuran ini tentu dimaksudkan untuk menghindari fitnah dan mengukuhkan institusi pernikahan yang baru saja dibangun.
Beberapa Kerugian
Kendati dalam perspektif fiqh pernikahan sirri dapat diterima, namun dalam praktiknya, model perkawinan semacam ini berisiko menimbulkan kerugian, terutama bagi pihak perempuan. Nikah sirri menempatkan perempuan pada posisi yang sangat lemah secara hukum. Jika sewaktu-waktu terjadi perceraian atau sang suami menelantarkannya, isteri tidak bisa menuntut hak-haknya di pengadilan. Atau, jika sang suami tiba-tiba meninggal, sang isteri tidak bisa menuntut pembagian harta warisan dari suaminya. Apalagi jika pernikahan tersebut membuahkan keturunan, anak juga akan terancam hak-haknya. Ia tidak akan bisa mendapatkan akta kelahiran. Hak-haknya sebagai anak tidak akan diakui oleh hukum.
Sebaliknya, secara hukum posisi suami sangat kuat. Ia dapat kapan saja meninggalkan isteri, tanpa harus memberikan pertanggungjawaban apapun di muka pengadilan. Risiko kekerasan dalam rumah tangga oleh suami juga sangat besar. Sebab, tidak ada payung hukum yang dapat melindungi perempuan dan anak-anak.
Perkawinan semacam ini sesungguhnya bertentangan dengan filosofi pernikahan dalam Islam. Pertama, Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah ”perjanjian yang kokoh” (QS. Al-Nisa: 21). Karena kokohnya perjanjian itu, sampai-sampai dinyatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam Islam, tetapi sangat dibenci Allah (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Artinya, meskipun perceraian dimungkinkan dalam Islam, tetapi seseorang tidak boleh dengan mudah melakukannya. Orang harus dibuat berpikir seribu kali untuk bercerai. Implikasinya, harus dibuat sistem yang sangat kuat untuk melindungi institusi pernikahan dan mencegah seseorang melakukan perceraian dengan mudah. Kedua, konsep pernikahan dalam Islam memposisikan isteri sebagai ”pakaian suami" dan suami sebagai ”pakaian isteri". Ini berarti bahwa secara hukum posisi suami dan isteri haruslah setara. Yang satu tidak boleh lebih tinggi dari yang lain. Keduanya harus sejajar dan semitra.
Konsep nikah sirri yang ”dilegalkan” oleh masyarakat kita sejatinya bertentangan dengan kedua filosofi nikah tersebut. Bahkan, konsep nikah sirri secara telanjang bertentangan dengan salah satu maslahat primer yang menjadi tujuan pensyariatan dalam hukum Islam (maqasid al-syari’ah), yaitu menjaga keturunan (hifzu al-nasl). Sebab, tidak ada perlindungan hukum apapun yang bisa diterima anak dari hasil nikah sirri. Sialnya, terkadang istilah nikah sirri disalahgunakan untuk menutup-nutupi praktik kumpul kebo atau aksi perzinaan yang tertangkap basah. Kalau ini yang terjadi, tentu sangat ironis. Sebab, agama lagi-lagi dieksploitasi untuk memenuhi kepentingan syahwat pribadi.
Merujuk pada salah satu kaidah ushul fiqh, yang menyatakan bahwa ”mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan” (dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil masalih), maka risiko kemudaratan pada nikah sirri sungguh lebih besar daripada kemasalahatannya. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan strategi yang jitu untuk ”memberantas” praktik nikah sirri di kalangan umat Islam.
Dua strategi berikut dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, mengkampanyekan dampak-dampak negatif nikah sirri bagi keluarga, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Selama ini, citra nikah sirri di masyarakat Islam sangat netral, bahkan cenderung ke positif. Atas dasar ini, tidak ada salahnya jika ada upaya membangun citra yang agak negatif tentang nikah sirri, meskipun citranya tidak bisa disamakan dengan kumpul kebo atau “isteri simpanan”. Di sini, peran para tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat penting. Mereka dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjauhi nikah sirri. Celakanya, kadang-kadang para tokoh agama justru menjadi pioner atau sponsor praktik nikah sirri di lingkungan masyarakatnya.
Kedua, membuat sistem yang memudahkan seseorang untuk menikah secara legal. Misalnya, soal prosedur dan biaya pencatatan nikah di KUA. Boleh jadi biaya menikah di kantor KUA hanya Rp 30.000. Tetapi informasi yang sampai ke masyarakat mengharuskan mereka membayar hingga ratusan ribu rupiah. Bagi warga miskin, jumlah tersebut tentu tidak kecil. Belum lagi jika ada biaya-biaya tambahan di kelurahan, yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan pencatatan nikah, seperti pembangunan masjid, perbaikan jalan desa, atau pembelian buku-buku panduan menikah. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar dari pemberantasan nikah sirri sesungguhnya berasal dari mentalitas eksploitatif para pelayan publik di negeri ini. Kalau sudah begini, nikah sirri tetap akan tumbuh subur. Dan, nasib agama tetap akan dieskploitasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
(Dani Muhtada, staf pengajar FH Unnes, alumnus Flinders University Australia)
PS: Versi asli penulis. Suara Merdeka memuat dengan beberapa pengeditan.
Dimuat di Suara Merdeka, 11 Maret 2009
Salah satu praktik sosial yang dianggap ”legal” oleh masyarakat Muslim Indonesia tetapi sejatinya merugikan perempuan adalah praktik nikah sirri. Secara etimologi, kata ”sirri” berasal dari bahasa Arab sirrun, yang berarti rahasia. Secara terminologi, nikah sirri merujuk pada pernikahan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak dicatat secara resmi oleh negara. Karena dilakukan di bawah tangan, maka biasanya pernikahan seperti ini dilakukan secara diam-diam atau rahasia.
Sebenarnya istilah nikah sirri tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh klasik. Memang, ada pendapat menyatakan bahwa istilah nikah sirri sudah muncul sejak zaman Malik bin Anas (w. 800), pendiri mazhab Maliki. Tetapi ketika itu, istilah tersebut merujuk pada pernikahan yang para saksinya diminta merahasiakan pernikahan karena alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia, istilah nikah sirri dengan pengertian "nikah di bawah tangan, diduga muncul sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974. Undang-undang ini mewajibkan orang Islam untuk mendaftarkan pernikahannya kepada negara. Beberapa orang yang ”enggan” mencatatkan perkawinannya atau menunda pencatatan nikahnya oleh Kantor Urusan Agama (KUA) menyebut perkawinan mereka dengan istilah nikah sirri.
Penyebutan ini sesungguhnya merupakan upaya melegitimasi apa yang sebenarnya tidak legitimate di mata negara. Dalam hukum Islam, pernikahan sudah dianggap sah manakala ia dilakukan dengan persetujuan wali, ditandai dengan pengucapan sighat nikah, dan disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat. Aturan fiqh konvensional tidak mempersyaratkan pernikahan harus dicatat oleh penguasa. Rasulullah hanya menganjurkan para pihak untuk mengumumkan perkawinan mereka kepada khalayak. Nabi bersabda, ”Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR Ibnu Majah dari Aisyah). Hadits lain menyebutkan, ”Rayakanlah pernikahan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR Al-Bukhari dari Abdurrahman bin Auf). Anjuran-anjuran ini tentu dimaksudkan untuk menghindari fitnah dan mengukuhkan institusi pernikahan yang baru saja dibangun.
Beberapa Kerugian
Kendati dalam perspektif fiqh pernikahan sirri dapat diterima, namun dalam praktiknya, model perkawinan semacam ini berisiko menimbulkan kerugian, terutama bagi pihak perempuan. Nikah sirri menempatkan perempuan pada posisi yang sangat lemah secara hukum. Jika sewaktu-waktu terjadi perceraian atau sang suami menelantarkannya, isteri tidak bisa menuntut hak-haknya di pengadilan. Atau, jika sang suami tiba-tiba meninggal, sang isteri tidak bisa menuntut pembagian harta warisan dari suaminya. Apalagi jika pernikahan tersebut membuahkan keturunan, anak juga akan terancam hak-haknya. Ia tidak akan bisa mendapatkan akta kelahiran. Hak-haknya sebagai anak tidak akan diakui oleh hukum.
Sebaliknya, secara hukum posisi suami sangat kuat. Ia dapat kapan saja meninggalkan isteri, tanpa harus memberikan pertanggungjawaban apapun di muka pengadilan. Risiko kekerasan dalam rumah tangga oleh suami juga sangat besar. Sebab, tidak ada payung hukum yang dapat melindungi perempuan dan anak-anak.
Perkawinan semacam ini sesungguhnya bertentangan dengan filosofi pernikahan dalam Islam. Pertama, Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah ”perjanjian yang kokoh” (QS. Al-Nisa: 21). Karena kokohnya perjanjian itu, sampai-sampai dinyatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam Islam, tetapi sangat dibenci Allah (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Artinya, meskipun perceraian dimungkinkan dalam Islam, tetapi seseorang tidak boleh dengan mudah melakukannya. Orang harus dibuat berpikir seribu kali untuk bercerai. Implikasinya, harus dibuat sistem yang sangat kuat untuk melindungi institusi pernikahan dan mencegah seseorang melakukan perceraian dengan mudah. Kedua, konsep pernikahan dalam Islam memposisikan isteri sebagai ”pakaian suami" dan suami sebagai ”pakaian isteri". Ini berarti bahwa secara hukum posisi suami dan isteri haruslah setara. Yang satu tidak boleh lebih tinggi dari yang lain. Keduanya harus sejajar dan semitra.
Konsep nikah sirri yang ”dilegalkan” oleh masyarakat kita sejatinya bertentangan dengan kedua filosofi nikah tersebut. Bahkan, konsep nikah sirri secara telanjang bertentangan dengan salah satu maslahat primer yang menjadi tujuan pensyariatan dalam hukum Islam (maqasid al-syari’ah), yaitu menjaga keturunan (hifzu al-nasl). Sebab, tidak ada perlindungan hukum apapun yang bisa diterima anak dari hasil nikah sirri. Sialnya, terkadang istilah nikah sirri disalahgunakan untuk menutup-nutupi praktik kumpul kebo atau aksi perzinaan yang tertangkap basah. Kalau ini yang terjadi, tentu sangat ironis. Sebab, agama lagi-lagi dieksploitasi untuk memenuhi kepentingan syahwat pribadi.
Merujuk pada salah satu kaidah ushul fiqh, yang menyatakan bahwa ”mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan” (dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil masalih), maka risiko kemudaratan pada nikah sirri sungguh lebih besar daripada kemasalahatannya. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan strategi yang jitu untuk ”memberantas” praktik nikah sirri di kalangan umat Islam.
Dua strategi berikut dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, mengkampanyekan dampak-dampak negatif nikah sirri bagi keluarga, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Selama ini, citra nikah sirri di masyarakat Islam sangat netral, bahkan cenderung ke positif. Atas dasar ini, tidak ada salahnya jika ada upaya membangun citra yang agak negatif tentang nikah sirri, meskipun citranya tidak bisa disamakan dengan kumpul kebo atau “isteri simpanan”. Di sini, peran para tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat penting. Mereka dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjauhi nikah sirri. Celakanya, kadang-kadang para tokoh agama justru menjadi pioner atau sponsor praktik nikah sirri di lingkungan masyarakatnya.
Kedua, membuat sistem yang memudahkan seseorang untuk menikah secara legal. Misalnya, soal prosedur dan biaya pencatatan nikah di KUA. Boleh jadi biaya menikah di kantor KUA hanya Rp 30.000. Tetapi informasi yang sampai ke masyarakat mengharuskan mereka membayar hingga ratusan ribu rupiah. Bagi warga miskin, jumlah tersebut tentu tidak kecil. Belum lagi jika ada biaya-biaya tambahan di kelurahan, yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan pencatatan nikah, seperti pembangunan masjid, perbaikan jalan desa, atau pembelian buku-buku panduan menikah. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar dari pemberantasan nikah sirri sesungguhnya berasal dari mentalitas eksploitatif para pelayan publik di negeri ini. Kalau sudah begini, nikah sirri tetap akan tumbuh subur. Dan, nasib agama tetap akan dieskploitasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
(Dani Muhtada, staf pengajar FH Unnes, alumnus Flinders University Australia)
PS: Versi asli penulis. Suara Merdeka memuat dengan beberapa pengeditan.
Saturday, February 28, 2009
Menjadikan Menulis Sebagai Wirid
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 28 Februari 2009
(Rubrik Kampus - Forum Halaman Kampus [FHK])
DALAM suatu kesempatan, saya bertanya kepada Prof Abdul Munir Mulkhan tentang apa yang membuatnya begitu produktif dalam menghasilkan berbagai buku dan tulisan. Pertanyaan ini menggelitik, karena guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu telah menghasilkan tidak kurang dari 60 buku, dan ratusan tulisan di berbagai media massa. Dengan kalem, beliau menjawab, ’’Saya menjadikan menulis sebagai wirid!’’
Dalam tradisi Islam, wirid adalah rutinitas membaca kalimat-kalimat tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya orang Islam melakukan wirid setelah shalat, baik shalat wajib maupun sunnah. Beberapa orang lebih menyukai wirid di tengah malam, ketika shalat tahajud, karena suasananya lebih hening dan lebih khusyu.
Tidak seperti kebanyakan orang, wirid bagi Munir Mulkhan bukan hanya kalimat-kalimat tayyibah. Wirid Munir adalah menulis. Dengan menulis, Munir ingin mendekati Allah. Menulis adalah olah batin dan laku spiritual. Dengan menulis, dia membuka pintu-pintu kegelapan. Ia memasuki relung-relung hati dan sudut-sudut pikiran yang tak terbayangkan. Menjelajahi wilayah-wilayah yang tak terjamah oleh banyak orang.
Menulis sebagai wirid berarti mencari jalan terang menuju hidayah. Petunjuk bagi penulis dan para pembacanya. Layaknya tokoh sufi Jalaluddin al-Rumi, yang mencari terang melalui olah gerak dan tari, wirid dengan menulis adalah praktik sufisme melalui olah kalimat dan huruf-huruf.
Dua Keuntungan
Bagi penulis pemula, menulis sebagai wirid memiliki dua keuntungan. Pertama, memberikan dorongan yang terus-menerus untuk menulis, tanpa harus berharap mendapatkan reward seketika dari apa yang ditulisnya.
Dengan wirid, seorang penulis percaya bahwa apa yang ditulisnya adalah olah batin dan laku spiritual. Sehingga, jika tulisannya tidak dimuat, atau tidak mendapatkan apresiasi dari orang lain, itu tidak membuatnya patah arang. Ia tetap bersemangat untuk menulis. Sebab, baginya, menulis adalah taqarrub kepada sang Khaliq, yang tidak mengenal kata berhenti.
Kedua, dorongan yang terus-menerus tersebut membuat si penulis lebih ’’terlatih’’ menata bahasanya. Kata pepatah, ’’Practice makes perfect’’. Makin (sering) ia menulis, makin ia menguasai kata-kata. Makin tajam pula intuisinya mendekati wilayah-wilayah yang tak terjamah. Ibarat berlatih sepak bola, makin sering berlatih makin tahu bagaimana membawa bola dan ke mana bola itu harus diarahkan. Substansi menulis pun demikian.
Sungguh, menulis sebagai wirid memerlukan konsistensi (istiqamah). Tanpa itu, menulis bukanlah wirid. Zamhuri, senior saya di LPM Justisia dulu, pernah berujar bahwa pekerjaan penulis adalah menulis. Jika seorang penulis tidak lagi menulis, maka ia bukan lagi penulis. Meminjam bahasa Descartes, ’’Aku menulis, maka aku ada!’’. Begitu kira-kira falsafah seorang penulis. (32)
—Dani Muhtada, mantan wapemred LPM Justisia, kini staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Dimuat di Suara Merdeka, 28 Februari 2009
(Rubrik Kampus - Forum Halaman Kampus [FHK])
DALAM suatu kesempatan, saya bertanya kepada Prof Abdul Munir Mulkhan tentang apa yang membuatnya begitu produktif dalam menghasilkan berbagai buku dan tulisan. Pertanyaan ini menggelitik, karena guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu telah menghasilkan tidak kurang dari 60 buku, dan ratusan tulisan di berbagai media massa. Dengan kalem, beliau menjawab, ’’Saya menjadikan menulis sebagai wirid!’’
Dalam tradisi Islam, wirid adalah rutinitas membaca kalimat-kalimat tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya orang Islam melakukan wirid setelah shalat, baik shalat wajib maupun sunnah. Beberapa orang lebih menyukai wirid di tengah malam, ketika shalat tahajud, karena suasananya lebih hening dan lebih khusyu.
Tidak seperti kebanyakan orang, wirid bagi Munir Mulkhan bukan hanya kalimat-kalimat tayyibah. Wirid Munir adalah menulis. Dengan menulis, Munir ingin mendekati Allah. Menulis adalah olah batin dan laku spiritual. Dengan menulis, dia membuka pintu-pintu kegelapan. Ia memasuki relung-relung hati dan sudut-sudut pikiran yang tak terbayangkan. Menjelajahi wilayah-wilayah yang tak terjamah oleh banyak orang.
Menulis sebagai wirid berarti mencari jalan terang menuju hidayah. Petunjuk bagi penulis dan para pembacanya. Layaknya tokoh sufi Jalaluddin al-Rumi, yang mencari terang melalui olah gerak dan tari, wirid dengan menulis adalah praktik sufisme melalui olah kalimat dan huruf-huruf.
Dua Keuntungan
Bagi penulis pemula, menulis sebagai wirid memiliki dua keuntungan. Pertama, memberikan dorongan yang terus-menerus untuk menulis, tanpa harus berharap mendapatkan reward seketika dari apa yang ditulisnya.
Dengan wirid, seorang penulis percaya bahwa apa yang ditulisnya adalah olah batin dan laku spiritual. Sehingga, jika tulisannya tidak dimuat, atau tidak mendapatkan apresiasi dari orang lain, itu tidak membuatnya patah arang. Ia tetap bersemangat untuk menulis. Sebab, baginya, menulis adalah taqarrub kepada sang Khaliq, yang tidak mengenal kata berhenti.
Kedua, dorongan yang terus-menerus tersebut membuat si penulis lebih ’’terlatih’’ menata bahasanya. Kata pepatah, ’’Practice makes perfect’’. Makin (sering) ia menulis, makin ia menguasai kata-kata. Makin tajam pula intuisinya mendekati wilayah-wilayah yang tak terjamah. Ibarat berlatih sepak bola, makin sering berlatih makin tahu bagaimana membawa bola dan ke mana bola itu harus diarahkan. Substansi menulis pun demikian.
Sungguh, menulis sebagai wirid memerlukan konsistensi (istiqamah). Tanpa itu, menulis bukanlah wirid. Zamhuri, senior saya di LPM Justisia dulu, pernah berujar bahwa pekerjaan penulis adalah menulis. Jika seorang penulis tidak lagi menulis, maka ia bukan lagi penulis. Meminjam bahasa Descartes, ’’Aku menulis, maka aku ada!’’. Begitu kira-kira falsafah seorang penulis. (32)
—Dani Muhtada, mantan wapemred LPM Justisia, kini staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Saturday, February 21, 2009
Islam, Politik dan Fatwa Golput
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Harian Umum Pelita, 21 Februari 2009
Meskipun forum musyawarah ulama komisi fatwa se-Indonesia III di Sumatera Barat telah berakhir beberapa waktu yang lalu, namun efeknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu keputusan yang hingga kini menjadi pro dan kontra adalah fatwa haram tidak menyalurkan hak suara pada pemilu (golput).
Kelompok yang setuju beralasan bahwa fatwa tersebut lahir untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Menurut kelompok ini, partisipasi yang rendah dalam pemilu hanya akan mempengaruhi legitimasi calon wakil atau pemimpin terpilih. Sedang legitimasi yang rendah sama dengan tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin. Ini tentu tidak diharapkan, apalagi dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu cukup besar.
Kelompok Islam revivalis juga mendukung fatwa haram ini. Alasannya, seperti bisa dilihat di beberapa ruang diskusi di dunia maya, jika umat Islam tidak menggunakan hak pilihnya, maka dikhawatirkan umat agama lain akan men-take over kendali kekuasaan di negeri ini. Menurut kelompok ini, penolakan terhadap fatwa haram merupakan agenda politik terselubung untuk menjauhkan umat Islam dari politik praktis.
Sementara itu, argumentasi kelompok penentang tidak kalah rasionalnya. Banyak orang memilih golput karena berbagai alasan politis atau teknis. Alasan politis misalnya ketiadaan caleg yang representatif, ketidakbecusan beberapa anggota legislatif dalam menjalankan kewajiban, penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan sebagainya. Alasan teknis misalnya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, sedang masuk angin di rumah, sedang di luar kota, atau kepentingan-kepentingan lain yang membuat mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilih.
Ada pula kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya karena alasan ideologis. Ini terjadi misalnya pada kelompok-kelompok Islam yang menganggap demokrasi sebagai produk toghut (baca: Barat, kafir). Dalam pandangan mereka, keterlibatan aktif dalam pemilu merupakan wujud penerimaan langsung dari demokrasi yang kafir dan tidak syar'i. Karena itu, golput bukan lagi haram, tetapi bahkan wajib. Sebaliknya, menggunakan hak pilih bukanlah wajib, tetapi merupakan tindakan terlarang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah yang lurus (aqidah salimah).
Agama dan Politik
Secara sosiologis, fatwa golput haram merupakan indikator perkawinan antara agama dan politik. Dalam Islam, perkawinan antara agama dan politik bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Asumsinya, politik merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengaktualisasikan pesan-pesan ketuhanan (divine messages) di ranah publik. Ini karena dalam Islam, agama tidak hanya soal moralitas individual (kesalehan personal), namun juga soal kemaslahatan sosial (ketertiban umum, keadilan, harmoni). Slogan yang biasa digunakan untuk meneguhkan citra agama yang demikian adalah al-Islam din wa daulah (Islam adalah agama dan negara).
Secara teoritis, konsep al-Islam din wa daulah sangat positif. Nilai-nilai religiusitas yang abstrak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial yang lebih kongkret. Namun pada praktiknya, konsep tersebut tidak jarang melahirkan perselingkuhan antara agama dan politik. Yang terjadi bukan lagi politik menjadi instrumen agama untuk kepentingan masyarakat, tetapi agama menjadi instrumen politik untuk kepentingan politis tertentu.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa fatwa golput merupakan hasil perselingkuhan antara agama dan politik. Namun produk fatwa seperti itu sangat berpotensi disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk meraup keuntungan politis seluas-luasnya. Alih-alih suara umat Islam dapat terwakili, suara tersebut justru dimanfaatkan untuk melegitimasi syahwat politik para elit yang tidak bertanggung jawab.
Fatwa golput mungkin tidak akan menjadi persoalan dan kemudian diperdebatkan, kalau saja semua orang memahami bahwa fatwa dalam teori hukum Islam hanyalah pandangan hukum (legal opinion) seorang ahli yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (binding). Masalahnya, tidak sedikit masyarakat yang menganggap fatwa sebagai syariat yang harus ditaati. Sehingga ketika MUI mengeluarakan fatwa haram untuk golput, sontak sebagian masyarakat kaget dan menganggap MUI melakukan tindakan yang aneh-aneh.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kalau tidak menggunakan hak pilih lantas masuk neraka? Padahal, legitimasi haram pada fatwa golput berbeda dengan legitimasi haram pada hukum mencuri. Yang pertama bersumber dari pendapat ahli hukum yang sifatnya tidak mengikat, kecuali pada si pemberi fatwa dan para pengikutnya. Yang kedua bersumber dari Tuhan (kitab suci) yang sifatnya mengikat dan harus ditaati oleh seluruh umat. Siapapun yang melanggar, dianggap telah memesan tiket ke neraka.
Dengan demikian apakah fatwa MUI tersebut keliru? Menurut saya, tidak juga. Namun akan lebih bijaksana kalau dalam soal golput MUI mengeluarkan statemen-statemen yang lebih bersifat seruan moral. Bukan keputusan hukum yang berakhir dengan statemen haram. Yang demikian itu saya kira akan lebih menenteramkan umat dan menghindarkan MUI dari penyalahgunaan institusi keagamaan oleh kelompok politik tertentu. Selain tentu saja akan lebih menjaga marwah para ulama sebagai salah satu benteng moral di negeri kita tercinta. Itu pendapat saya. Wallahu A'lam.
Dimuat di Harian Umum Pelita, 21 Februari 2009
Meskipun forum musyawarah ulama komisi fatwa se-Indonesia III di Sumatera Barat telah berakhir beberapa waktu yang lalu, namun efeknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu keputusan yang hingga kini menjadi pro dan kontra adalah fatwa haram tidak menyalurkan hak suara pada pemilu (golput).
Kelompok yang setuju beralasan bahwa fatwa tersebut lahir untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Menurut kelompok ini, partisipasi yang rendah dalam pemilu hanya akan mempengaruhi legitimasi calon wakil atau pemimpin terpilih. Sedang legitimasi yang rendah sama dengan tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin. Ini tentu tidak diharapkan, apalagi dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu cukup besar.
Kelompok Islam revivalis juga mendukung fatwa haram ini. Alasannya, seperti bisa dilihat di beberapa ruang diskusi di dunia maya, jika umat Islam tidak menggunakan hak pilihnya, maka dikhawatirkan umat agama lain akan men-take over kendali kekuasaan di negeri ini. Menurut kelompok ini, penolakan terhadap fatwa haram merupakan agenda politik terselubung untuk menjauhkan umat Islam dari politik praktis.
Sementara itu, argumentasi kelompok penentang tidak kalah rasionalnya. Banyak orang memilih golput karena berbagai alasan politis atau teknis. Alasan politis misalnya ketiadaan caleg yang representatif, ketidakbecusan beberapa anggota legislatif dalam menjalankan kewajiban, penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan sebagainya. Alasan teknis misalnya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, sedang masuk angin di rumah, sedang di luar kota, atau kepentingan-kepentingan lain yang membuat mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilih.
Ada pula kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya karena alasan ideologis. Ini terjadi misalnya pada kelompok-kelompok Islam yang menganggap demokrasi sebagai produk toghut (baca: Barat, kafir). Dalam pandangan mereka, keterlibatan aktif dalam pemilu merupakan wujud penerimaan langsung dari demokrasi yang kafir dan tidak syar'i. Karena itu, golput bukan lagi haram, tetapi bahkan wajib. Sebaliknya, menggunakan hak pilih bukanlah wajib, tetapi merupakan tindakan terlarang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah yang lurus (aqidah salimah).
Agama dan Politik
Secara sosiologis, fatwa golput haram merupakan indikator perkawinan antara agama dan politik. Dalam Islam, perkawinan antara agama dan politik bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Asumsinya, politik merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengaktualisasikan pesan-pesan ketuhanan (divine messages) di ranah publik. Ini karena dalam Islam, agama tidak hanya soal moralitas individual (kesalehan personal), namun juga soal kemaslahatan sosial (ketertiban umum, keadilan, harmoni). Slogan yang biasa digunakan untuk meneguhkan citra agama yang demikian adalah al-Islam din wa daulah (Islam adalah agama dan negara).
Secara teoritis, konsep al-Islam din wa daulah sangat positif. Nilai-nilai religiusitas yang abstrak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial yang lebih kongkret. Namun pada praktiknya, konsep tersebut tidak jarang melahirkan perselingkuhan antara agama dan politik. Yang terjadi bukan lagi politik menjadi instrumen agama untuk kepentingan masyarakat, tetapi agama menjadi instrumen politik untuk kepentingan politis tertentu.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa fatwa golput merupakan hasil perselingkuhan antara agama dan politik. Namun produk fatwa seperti itu sangat berpotensi disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk meraup keuntungan politis seluas-luasnya. Alih-alih suara umat Islam dapat terwakili, suara tersebut justru dimanfaatkan untuk melegitimasi syahwat politik para elit yang tidak bertanggung jawab.
Fatwa golput mungkin tidak akan menjadi persoalan dan kemudian diperdebatkan, kalau saja semua orang memahami bahwa fatwa dalam teori hukum Islam hanyalah pandangan hukum (legal opinion) seorang ahli yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (binding). Masalahnya, tidak sedikit masyarakat yang menganggap fatwa sebagai syariat yang harus ditaati. Sehingga ketika MUI mengeluarakan fatwa haram untuk golput, sontak sebagian masyarakat kaget dan menganggap MUI melakukan tindakan yang aneh-aneh.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kalau tidak menggunakan hak pilih lantas masuk neraka? Padahal, legitimasi haram pada fatwa golput berbeda dengan legitimasi haram pada hukum mencuri. Yang pertama bersumber dari pendapat ahli hukum yang sifatnya tidak mengikat, kecuali pada si pemberi fatwa dan para pengikutnya. Yang kedua bersumber dari Tuhan (kitab suci) yang sifatnya mengikat dan harus ditaati oleh seluruh umat. Siapapun yang melanggar, dianggap telah memesan tiket ke neraka.
Dengan demikian apakah fatwa MUI tersebut keliru? Menurut saya, tidak juga. Namun akan lebih bijaksana kalau dalam soal golput MUI mengeluarkan statemen-statemen yang lebih bersifat seruan moral. Bukan keputusan hukum yang berakhir dengan statemen haram. Yang demikian itu saya kira akan lebih menenteramkan umat dan menghindarkan MUI dari penyalahgunaan institusi keagamaan oleh kelompok politik tertentu. Selain tentu saja akan lebih menjaga marwah para ulama sebagai salah satu benteng moral di negeri kita tercinta. Itu pendapat saya. Wallahu A'lam.
Wednesday, February 04, 2009
Maskulinisme Perempuan Modern
Oleh Dani Muhtada
Suara Merdeka, 4 Februari 2009
KAMPANYE kesetaraan gender yang digalakkan kalangan feminis Indonesia beberapa dekade terakhir telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan wanita.
Masyarakat tidak lagi memandang tabu peran aktif wanita di sektor-sektor publik. Perempuan dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi, perusahaan, pemerintahan, dan wilayah lain. Adalah biasa saat ini jika ada perempuan menjadi lurah, camat, bupati, bahkan presiden.
Namun demikian, gerakan feminisme juga menyisakan beberapa persoalan sosial di banyak negara. Terutama gerakan feminisme yang dikembangkan oleh kaum feminis liberal dan feminis sosialis.
Seperti diketahui, asumsi feminisme tentang ideologi patriarki adalah negatif. Ideologi patriarki dianggap telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat di bawah laki-laki. Karena itu, pada umumnya kaum feminis ingin meruntuhkan struktur patriarkhi, agar tercipta kesetaraan gender.
Penolakan kaum feminis terhadap struktur patriarkhi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok feminisme modern, termasuk di dalamnya kelompok feminisme liberal dan sosialis. Kelompok ini ingin melakukan transformasi sosial secara revolusioner.
Mereka berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Untuk itu, perempuan harus mengadopsi kualitas maskulin, sehingga dapat menempati posisi-posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Apapun pekerjaan laki-laki, perempuan pun harus mampu melakukannya.
Kedua, kelompok feminisme kultural. Kelompok ini ingin melakukan transformsi sosial melalui perubahan-perubahan yang bertahap (evolusioner). Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini menyakini adanya perbedaan-perbedaan biologis yang kemudian menimbulkan kualitas maskulin dan kualitas feminin (kualitas kelelakian dan keperempuanan).
Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarkhi yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarkhi.
Pada kenyataannya, gerakan feminisme ini kemudian banyak menuai kritik. Kelompok feminisme modern misalnya.
Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak perempuan yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik. Tetapi gerakan ini juga mendorong lahirnya manusia jenis ketiga, tidak laki-laki dan tidak perempuan, yakni manusia ’’tiruan laki-laki’’ (male clone). Makhluk tiruan laki-laki ini berjasmani perempuan, tetapi memiliki kualitas-kualitas maskulin, seperti menguasai, ambisius, kompetitif, dan memenuhi kepentingan pribadi. Jauh dari kualitas feminin dengan karakter pengasuh, pasif, dan pemelihara.
Feminisme modern juga dituduh sebagai penghancur tatanan keluarga, karena secara teoritis menganggap bahwa perempuan yang bekerja di sektor domestik (rumah tangga) sebagai wanita yang lemah. Antara tahun 1963 sampai 1975, angka perceraian di Amerika Serikat meningkat sebesar 100% (Skolnicn, 1987).
Mengkhawatirkan
Perhatian dan kesejahteraan anak-anak pun mengkhawatirkan, karena banyaknya perempuan yang memusatkan perhatian pada sektor publik. Di negara-negara Skandinavia, tempat kaum feminis sosialis memperjuangkan ide-idenya, jumlah angka perkawinan menurun, sementara frekuensi kumpul kebo dan perpecahan keluarga semakin meningkat. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar nikah dan angka keluarga ”berorang tua satu” (ibu saja atau ayah saja) menjadi tinggi (David Popenoe, 1988).
Kecenderungan negatif tersebut mendorong munculnya perubahan paradigma di kalangan feminis. Banyak feminis yang kemudian menyadari bahwa masuk ke dalam dunia maskulin tidak serta-merta dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Orientasi gerakan pun diubah. Mereka berpikir bagaimana dengan kualitas femininnya sebagai ibu, pengasuh, dan pemelihara, kaum perempuan dapat mengubah dunia menjadi lebih baik dan damai. Kaum feminis menyebut paradigma baru ini dengan ekofeminisme.
Menurut Ratna Megawangi, teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan terhadap arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi.
Ini tampak pada rusaknya alam, polusi, perkosaan terhadap bumi, menurunnya solidaritas sosial, dan tingginya angka kriminalitas. Kaum ekofeminis memandang dunia terlalu berat pada kualitas maskulin. Sedangkan perhatian pada kualitas feminin seperti cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan, sangat kecil (Megawangi, 2001).
Lunturnya kualitas feminin juga terlihat pada munculnya berbagai persoalan sosial. Fenomena tawuran pelajar, kenakalan remaja, dan masyarakat yang semakin brutal disinyalir erat kaitannya dengan kualitas rumah tangga modern. Ibu dan bapak yang sibuk di luar rumah, kurangnya perhatian pada anak, hilangnya kehangatan keluarga, merupakan sebagian contoh kecenderungan rumah tangga modern. Tidak heran jika dekade 90-an dianggap sebagai masa krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat.
Kaum ekofeminis menuduh perempuan modern telah mentransformasikan dirinya sebagai ”perempuan ekonomi” (economic women), yang terperangkap dalam peradaban pasar. Mereka menjadi egois dan terfokus pada kepentingan dan aktualisasi diri. Perhatian pada pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak menjadi kurang. Kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga menjadi realitas yang langka.
Perhatian agama terhadap hal ini sesungguhnya sangat besar. Idiom ”rumah tanggaku adalah surgaku” yang dikembangkan Nabi Muhammad, sangat dikenal dalam masyarakat muslim. Kamus muslim juga mencatat istilah ’’wanita adalah tiang negara’’. Jika rusak wanita, maka rusak pula negara. Ini sebenarnya menunjukkan pentingnya peran perempuan dalam keluarga.
Karakter-karakter feminin yang melekat dalam diri perempuan membawa pengaruh besar bagi kehidupan keluarga dan masa depan generasi muda. Kondisi positif dalam keluarga dan baiknya pendidikan anak berpengaruh besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena itulah Islam memberikan hak pengasuhan anak kepada ibu, dan bukan kepada bapak. Sebab kualitas feminin, yang umumnya dimiliki para ibu, diyakini lebih baik bagi masa depan anak. Ikatan yang aman dan kuat antara orang tua (terutama ibu) dan anak ketika bayi merupakan prasyarat mutlak agar anak dapat berkembang baik secara sosial dan psikologis. Dalam konteks ini pula, ada pepatah Arab mengatakan “al-ummu madrasatun”, bahwa ibu adalah sekolah bagi putera-puterinya. Jika ibunya baik (baca: kepengasuhannya baik), maka anak-anak akan mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang baik. Jika tidak, sebaliknya pula akibatnya.
Kesetaraan jender yang dikembangkan masyarakat modern perlu memperhatikan kualitas “ibu” tersebut. Sistem patriarki mungkin telah menyebabkan perempuan tereksploitasi, tertindas, dan termarjinalkan. Namun perlu ada cara yang lebih baik untuk menciptakan relasi jender yang lebih berkeadilan, tanpa harus membuat tatanan dunia menjadi beringas. Dan itu bisa didapat dengan cara mengharmonikan kualitas feminin dengan kualitas maskulin. Mengembalikan dunia ibu dalam rumus kesetaraan jender adalah jawabannya.
(Cat: dua alinea terakhir dipotong [tidak muncul] dalam terbitan)
Suara Merdeka, 4 Februari 2009
KAMPANYE kesetaraan gender yang digalakkan kalangan feminis Indonesia beberapa dekade terakhir telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan wanita.
Masyarakat tidak lagi memandang tabu peran aktif wanita di sektor-sektor publik. Perempuan dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi, perusahaan, pemerintahan, dan wilayah lain. Adalah biasa saat ini jika ada perempuan menjadi lurah, camat, bupati, bahkan presiden.
Namun demikian, gerakan feminisme juga menyisakan beberapa persoalan sosial di banyak negara. Terutama gerakan feminisme yang dikembangkan oleh kaum feminis liberal dan feminis sosialis.
Seperti diketahui, asumsi feminisme tentang ideologi patriarki adalah negatif. Ideologi patriarki dianggap telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat di bawah laki-laki. Karena itu, pada umumnya kaum feminis ingin meruntuhkan struktur patriarkhi, agar tercipta kesetaraan gender.
Penolakan kaum feminis terhadap struktur patriarkhi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok feminisme modern, termasuk di dalamnya kelompok feminisme liberal dan sosialis. Kelompok ini ingin melakukan transformasi sosial secara revolusioner.
Mereka berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Untuk itu, perempuan harus mengadopsi kualitas maskulin, sehingga dapat menempati posisi-posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Apapun pekerjaan laki-laki, perempuan pun harus mampu melakukannya.
Kedua, kelompok feminisme kultural. Kelompok ini ingin melakukan transformsi sosial melalui perubahan-perubahan yang bertahap (evolusioner). Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini menyakini adanya perbedaan-perbedaan biologis yang kemudian menimbulkan kualitas maskulin dan kualitas feminin (kualitas kelelakian dan keperempuanan).
Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarkhi yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarkhi.
Pada kenyataannya, gerakan feminisme ini kemudian banyak menuai kritik. Kelompok feminisme modern misalnya.
Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak perempuan yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik. Tetapi gerakan ini juga mendorong lahirnya manusia jenis ketiga, tidak laki-laki dan tidak perempuan, yakni manusia ’’tiruan laki-laki’’ (male clone). Makhluk tiruan laki-laki ini berjasmani perempuan, tetapi memiliki kualitas-kualitas maskulin, seperti menguasai, ambisius, kompetitif, dan memenuhi kepentingan pribadi. Jauh dari kualitas feminin dengan karakter pengasuh, pasif, dan pemelihara.
Feminisme modern juga dituduh sebagai penghancur tatanan keluarga, karena secara teoritis menganggap bahwa perempuan yang bekerja di sektor domestik (rumah tangga) sebagai wanita yang lemah. Antara tahun 1963 sampai 1975, angka perceraian di Amerika Serikat meningkat sebesar 100% (Skolnicn, 1987).
Mengkhawatirkan
Perhatian dan kesejahteraan anak-anak pun mengkhawatirkan, karena banyaknya perempuan yang memusatkan perhatian pada sektor publik. Di negara-negara Skandinavia, tempat kaum feminis sosialis memperjuangkan ide-idenya, jumlah angka perkawinan menurun, sementara frekuensi kumpul kebo dan perpecahan keluarga semakin meningkat. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar nikah dan angka keluarga ”berorang tua satu” (ibu saja atau ayah saja) menjadi tinggi (David Popenoe, 1988).
Kecenderungan negatif tersebut mendorong munculnya perubahan paradigma di kalangan feminis. Banyak feminis yang kemudian menyadari bahwa masuk ke dalam dunia maskulin tidak serta-merta dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Orientasi gerakan pun diubah. Mereka berpikir bagaimana dengan kualitas femininnya sebagai ibu, pengasuh, dan pemelihara, kaum perempuan dapat mengubah dunia menjadi lebih baik dan damai. Kaum feminis menyebut paradigma baru ini dengan ekofeminisme.
Menurut Ratna Megawangi, teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan terhadap arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi.
Ini tampak pada rusaknya alam, polusi, perkosaan terhadap bumi, menurunnya solidaritas sosial, dan tingginya angka kriminalitas. Kaum ekofeminis memandang dunia terlalu berat pada kualitas maskulin. Sedangkan perhatian pada kualitas feminin seperti cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan, sangat kecil (Megawangi, 2001).
Lunturnya kualitas feminin juga terlihat pada munculnya berbagai persoalan sosial. Fenomena tawuran pelajar, kenakalan remaja, dan masyarakat yang semakin brutal disinyalir erat kaitannya dengan kualitas rumah tangga modern. Ibu dan bapak yang sibuk di luar rumah, kurangnya perhatian pada anak, hilangnya kehangatan keluarga, merupakan sebagian contoh kecenderungan rumah tangga modern. Tidak heran jika dekade 90-an dianggap sebagai masa krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat.
Kaum ekofeminis menuduh perempuan modern telah mentransformasikan dirinya sebagai ”perempuan ekonomi” (economic women), yang terperangkap dalam peradaban pasar. Mereka menjadi egois dan terfokus pada kepentingan dan aktualisasi diri. Perhatian pada pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak menjadi kurang. Kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga menjadi realitas yang langka.
Perhatian agama terhadap hal ini sesungguhnya sangat besar. Idiom ”rumah tanggaku adalah surgaku” yang dikembangkan Nabi Muhammad, sangat dikenal dalam masyarakat muslim. Kamus muslim juga mencatat istilah ’’wanita adalah tiang negara’’. Jika rusak wanita, maka rusak pula negara. Ini sebenarnya menunjukkan pentingnya peran perempuan dalam keluarga.
Karakter-karakter feminin yang melekat dalam diri perempuan membawa pengaruh besar bagi kehidupan keluarga dan masa depan generasi muda. Kondisi positif dalam keluarga dan baiknya pendidikan anak berpengaruh besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena itulah Islam memberikan hak pengasuhan anak kepada ibu, dan bukan kepada bapak. Sebab kualitas feminin, yang umumnya dimiliki para ibu, diyakini lebih baik bagi masa depan anak. Ikatan yang aman dan kuat antara orang tua (terutama ibu) dan anak ketika bayi merupakan prasyarat mutlak agar anak dapat berkembang baik secara sosial dan psikologis. Dalam konteks ini pula, ada pepatah Arab mengatakan “al-ummu madrasatun”, bahwa ibu adalah sekolah bagi putera-puterinya. Jika ibunya baik (baca: kepengasuhannya baik), maka anak-anak akan mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang baik. Jika tidak, sebaliknya pula akibatnya.
Kesetaraan jender yang dikembangkan masyarakat modern perlu memperhatikan kualitas “ibu” tersebut. Sistem patriarki mungkin telah menyebabkan perempuan tereksploitasi, tertindas, dan termarjinalkan. Namun perlu ada cara yang lebih baik untuk menciptakan relasi jender yang lebih berkeadilan, tanpa harus membuat tatanan dunia menjadi beringas. Dan itu bisa didapat dengan cara mengharmonikan kualitas feminin dengan kualitas maskulin. Mengembalikan dunia ibu dalam rumus kesetaraan jender adalah jawabannya.
(Cat: dua alinea terakhir dipotong [tidak muncul] dalam terbitan)
Subscribe to:
Posts (Atom)