Monday, March 15, 2010

Rokok, Ulama, dan Impotensi Fatwa

Oleh Dani Muhtada
Detikcom, 15 Maret 2010

Ketika mendengar kabar tentang fatwa rokok Muhammadiyah, seorang kawan di Philadelphia berkomentar, “Melawan rokok dengan fatwa itu ibarat perang dua takhayul”. Saya bertanya apa maksudnya. Ia menjelaskan bahwa kita perlu cara-cara yang lebih rasional untuk mengatasi persoalan yang irrasional. Rokok, dalam pandangan kawan saya ini, masuk wilayah “irrasional”, seperti halnya fatwa. Dia mencontohkan Amerika Serikat yang mampu mengatasi rokok tanpa melalui fatwa.

Dalam beberapa hal, saya setuju dengan pendapat kawan ini. Problem rokok memang problem yang kompleks. Ada aspek kesehatan, ketenagakerjaan, budaya, sosial, dan ekonomi. Kompleksitas persoalan ini memerlukan pendekatan-pendekatan yang holistis dan sistematis. Misalnya melalui regulasi, pendidikan, kampanye, membuka alternatif lapangan pekerjaan, dan sebagainya.

Namun justru lantaran kompleksitas persoalan tersebut, rokok tidak cukup diatasi hanya dengan satu solusi. Problem rokok memerlukan pendekatan multidimensional. Tidak hanya pendekatan-pendekatan yang bersifat “rasional”, namun juga pendekatan-pendekatan yang, meminjam istilah kawan saya, “irrasional”. Di sinilah fatwa rokok turut memainkan perannya.

Hemat saya, aspek regulasi, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kebijakan tentang rokok menjadi wilayah pemerintah dan instansi terkait. Itu bukan wilayah para ahli agama. Urusan ulama adalah “pembinaan” ummat. Salah satunya dengan mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa Muhammadiyah kali ini bahkan lebih baik dari fatwa rokok MUI. Sebelumnya, MUI mengharamkan rokok hanya bagi perempuan, anak-anak, dan tempat-tempat umum. Fatwa seperti ini relatif bias, tidak tegas, dan terkesan pilih-pilih. Padahal dampak rokok tidak akan pilih-pilih.

Persoalannya menurut saya, sejauh mana fatwa tersebut efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap rokok? Bukan hanya karena rokok sudah menjadi “budaya” masyarakat, namun juga karena masih banyak elit agama yang hidupnya akrab dengan rokok. Asumsi saya, di kalangan Muhammadiyah sendiri masih banyak pimpinan daerah, wilayah, dan pusat yang hobi merokok. Demikian pula halnya dengan pengelola amal usaha seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Jumlah mereka ada ribuan, bahkan mungkin jutaan. Apakah orang-orang ini “mau” menaati fatwa majlis tarjih tentang rokok?

Saya khawatir, fatwa rokok Muhammadiyah kali ini juga akan “impoten”, tidak sanggup memenuhi tugas dan fungsinya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Berapa banyak produk “fatwa” telah dikeluarkan ulama belakangan ini, namun tak satupun yang efektif “mempengaruhi” masyarakat. Lihat misalnya fatwa tentang golput, facebook, mengemis, rebonding, foto pra-wedding, ojek wanita, dan sekarang rokok. Sebagian besar masyarakat agaknya cenderung cuek dan tidak lagi ambil pusing soal fatwa. Alih-alih menggubris fatwa ulama, mereka tampaknya sudah mulai “kekenyangan” fatwa.

Apa yang membuat masyarakat cenderung “kebal” fatwa? Ini bukan pertanyaan yang mudah. Baru-baru ini situs majalah Times memuat artikel tentang fatwa anti-teror. Judulnya, “Can a fatwa against terrorism stop extremists?”. Carla Power, penulis artikel ini, meragukan kontribusi fatwa dalam upaya menghentikan aksi teror. Pasalnya, banyak ulama telah mengeluarkan fatwa anti-teror sejak peristiwa 11 September. Mulai dari Ayatullah Ali Khamenei sampai Syekh Yusuf Al-Qardhawi. Yang tekahir, Syekh Tahir al-Qadri, ulama berpengaruh di Pakistan, awal bulan ini juga mengeluarkan fatwa serupa. Hasilnya, aksi-aksi teror tetap terjadi. Power berasumsi, kegagalan fatwa dalam mengatasi aksi terror disebabkan karena fatwa tersebut dikeluarkan oleh para ulama yang “dekat” dengan kekuasaan.

Apakah ini juga kasus di Indonesia? Mungkin ya, mungkin tidak. Faktanya, dalam banyak hal, dua organisasi besar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) tidak lagi mampu “mempengaruhi” warga mereka melalui fatwa. Bukan cuma karena masyarakat semakin cerdas dan kritis, namun juga lantaran fatwa ulama seringkali tidak mengakar dan berwawasan “kerakyatan”. Kesan yang muncul, para ulama mengeluarkan fatwa tanpa kepekaan terhadap kondisi masyarakat. Contoh terakhir adalah fatwa soal pengemis dan tukang ojek perempuan. Orang boleh tidak setuju dengan pendapat ini. Tapi harapan saya , fatwa rokok Muhammadiyah kali ini tidak demikian.