Oleh Dani Muhtada
Suara Merdeka, 4 Februari 2009
KAMPANYE kesetaraan gender yang digalakkan kalangan feminis Indonesia beberapa dekade terakhir telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan wanita.
Masyarakat tidak lagi memandang tabu peran aktif wanita di sektor-sektor publik. Perempuan dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi, perusahaan, pemerintahan, dan wilayah lain. Adalah biasa saat ini jika ada perempuan menjadi lurah, camat, bupati, bahkan presiden.
Namun demikian, gerakan feminisme juga menyisakan beberapa persoalan sosial di banyak negara. Terutama gerakan feminisme yang dikembangkan oleh kaum feminis liberal dan feminis sosialis.
Seperti diketahui, asumsi feminisme tentang ideologi patriarki adalah negatif. Ideologi patriarki dianggap telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat di bawah laki-laki. Karena itu, pada umumnya kaum feminis ingin meruntuhkan struktur patriarkhi, agar tercipta kesetaraan gender.
Penolakan kaum feminis terhadap struktur patriarkhi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok feminisme modern, termasuk di dalamnya kelompok feminisme liberal dan sosialis. Kelompok ini ingin melakukan transformasi sosial secara revolusioner.
Mereka berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Untuk itu, perempuan harus mengadopsi kualitas maskulin, sehingga dapat menempati posisi-posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Apapun pekerjaan laki-laki, perempuan pun harus mampu melakukannya.
Kedua, kelompok feminisme kultural. Kelompok ini ingin melakukan transformsi sosial melalui perubahan-perubahan yang bertahap (evolusioner). Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini menyakini adanya perbedaan-perbedaan biologis yang kemudian menimbulkan kualitas maskulin dan kualitas feminin (kualitas kelelakian dan keperempuanan).
Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarkhi yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarkhi.
Pada kenyataannya, gerakan feminisme ini kemudian banyak menuai kritik. Kelompok feminisme modern misalnya.
Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak perempuan yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik. Tetapi gerakan ini juga mendorong lahirnya manusia jenis ketiga, tidak laki-laki dan tidak perempuan, yakni manusia ’’tiruan laki-laki’’ (male clone). Makhluk tiruan laki-laki ini berjasmani perempuan, tetapi memiliki kualitas-kualitas maskulin, seperti menguasai, ambisius, kompetitif, dan memenuhi kepentingan pribadi. Jauh dari kualitas feminin dengan karakter pengasuh, pasif, dan pemelihara.
Feminisme modern juga dituduh sebagai penghancur tatanan keluarga, karena secara teoritis menganggap bahwa perempuan yang bekerja di sektor domestik (rumah tangga) sebagai wanita yang lemah. Antara tahun 1963 sampai 1975, angka perceraian di Amerika Serikat meningkat sebesar 100% (Skolnicn, 1987).
Mengkhawatirkan
Perhatian dan kesejahteraan anak-anak pun mengkhawatirkan, karena banyaknya perempuan yang memusatkan perhatian pada sektor publik. Di negara-negara Skandinavia, tempat kaum feminis sosialis memperjuangkan ide-idenya, jumlah angka perkawinan menurun, sementara frekuensi kumpul kebo dan perpecahan keluarga semakin meningkat. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar nikah dan angka keluarga ”berorang tua satu” (ibu saja atau ayah saja) menjadi tinggi (David Popenoe, 1988).
Kecenderungan negatif tersebut mendorong munculnya perubahan paradigma di kalangan feminis. Banyak feminis yang kemudian menyadari bahwa masuk ke dalam dunia maskulin tidak serta-merta dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Orientasi gerakan pun diubah. Mereka berpikir bagaimana dengan kualitas femininnya sebagai ibu, pengasuh, dan pemelihara, kaum perempuan dapat mengubah dunia menjadi lebih baik dan damai. Kaum feminis menyebut paradigma baru ini dengan ekofeminisme.
Menurut Ratna Megawangi, teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan terhadap arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi.
Ini tampak pada rusaknya alam, polusi, perkosaan terhadap bumi, menurunnya solidaritas sosial, dan tingginya angka kriminalitas. Kaum ekofeminis memandang dunia terlalu berat pada kualitas maskulin. Sedangkan perhatian pada kualitas feminin seperti cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan, sangat kecil (Megawangi, 2001).
Lunturnya kualitas feminin juga terlihat pada munculnya berbagai persoalan sosial. Fenomena tawuran pelajar, kenakalan remaja, dan masyarakat yang semakin brutal disinyalir erat kaitannya dengan kualitas rumah tangga modern. Ibu dan bapak yang sibuk di luar rumah, kurangnya perhatian pada anak, hilangnya kehangatan keluarga, merupakan sebagian contoh kecenderungan rumah tangga modern. Tidak heran jika dekade 90-an dianggap sebagai masa krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat.
Kaum ekofeminis menuduh perempuan modern telah mentransformasikan dirinya sebagai ”perempuan ekonomi” (economic women), yang terperangkap dalam peradaban pasar. Mereka menjadi egois dan terfokus pada kepentingan dan aktualisasi diri. Perhatian pada pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak menjadi kurang. Kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga menjadi realitas yang langka.
Perhatian agama terhadap hal ini sesungguhnya sangat besar. Idiom ”rumah tanggaku adalah surgaku” yang dikembangkan Nabi Muhammad, sangat dikenal dalam masyarakat muslim. Kamus muslim juga mencatat istilah ’’wanita adalah tiang negara’’. Jika rusak wanita, maka rusak pula negara. Ini sebenarnya menunjukkan pentingnya peran perempuan dalam keluarga.
Karakter-karakter feminin yang melekat dalam diri perempuan membawa pengaruh besar bagi kehidupan keluarga dan masa depan generasi muda. Kondisi positif dalam keluarga dan baiknya pendidikan anak berpengaruh besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena itulah Islam memberikan hak pengasuhan anak kepada ibu, dan bukan kepada bapak. Sebab kualitas feminin, yang umumnya dimiliki para ibu, diyakini lebih baik bagi masa depan anak. Ikatan yang aman dan kuat antara orang tua (terutama ibu) dan anak ketika bayi merupakan prasyarat mutlak agar anak dapat berkembang baik secara sosial dan psikologis. Dalam konteks ini pula, ada pepatah Arab mengatakan “al-ummu madrasatun”, bahwa ibu adalah sekolah bagi putera-puterinya. Jika ibunya baik (baca: kepengasuhannya baik), maka anak-anak akan mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang baik. Jika tidak, sebaliknya pula akibatnya.
Kesetaraan jender yang dikembangkan masyarakat modern perlu memperhatikan kualitas “ibu” tersebut. Sistem patriarki mungkin telah menyebabkan perempuan tereksploitasi, tertindas, dan termarjinalkan. Namun perlu ada cara yang lebih baik untuk menciptakan relasi jender yang lebih berkeadilan, tanpa harus membuat tatanan dunia menjadi beringas. Dan itu bisa didapat dengan cara mengharmonikan kualitas feminin dengan kualitas maskulin. Mengembalikan dunia ibu dalam rumus kesetaraan jender adalah jawabannya.
(Cat: dua alinea terakhir dipotong [tidak muncul] dalam terbitan)
No comments:
Post a Comment