Wednesday, May 27, 2009

Perempuan Berkubang Lumpur Lapindo

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 27 Mei 2009

JUMAT (29/5) lusa genap tiga tahun lumpur panas menyerang Sidoarjo. Saat pertama kali menyembur, banyak orang tidak menduga dampaknya akan begitu luas. Hingga kini berbagai problem sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana ini belum terselesaikan.

Pemberitaan di media massa hanya berkutat pada soal ganti rugi. Padahal, kerugian immateriil dari bencana ini tak sedikit. Ironisnya, perempuan lagi-lagi menjadi ke-lompok korban bencana yang me-nanggung beban lebih kompleks.

Di luar problem kolektif yang dialami para korban lumpur pada umumnya, problem yang dihadapi perempuan lebih kompleks karena beberapa hal.

Pertama, beban domestik yang ditanggung perempuan, terutama di kamp-kamp pengungsian, makin berat. Pada awal 2007, 14.768 pengungsi bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru (Tempointeraktif, 22 Januari 2007).

Meski kini jumlahnya sudah menurun, persoalan yang dihadapi pengungsi tidak juga berkurang. Bagi perempuan, persoalan penting yang dihadapi antara lain keterbatasan sarana air bersih, MCK, dan fasilitas dapur.

Kultur Patriarkhi

Ketiadaan sarana dan fasilitas itu tentu menambah beban perempuan, mengingat kultur patriarkhi biasanya menyerahkan tanggung jawab kerja domestik pada perempuan. Mulai dari mengurus anak dan lansia, memasak, mencuci, dan memelihara barang-barang "rumah".

Kedua, beban tersebut makin berat bagi ibu hamil dan menyusui. Tradisi mitigasi bencana yang tidak berwawasan gender membuat bantuan pangan biasanya melupakan standar gizi bagi ibu hamil dan menyusui. Demikian pula layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui.

Ketiga, munculnya ancaman women trafficking yang sistematis. Para relawan dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Sidoarjo pernah mendampingi dua perempuan di bawah umur yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Tretes Pasuruan. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan iming-iming gaji lumayan (Sindo, 25 Juni 2007).

Para aktivis Koalisi Perempuan Pro-Demokrasi juga pernah mendampingi empat perempuan korban yang menjadi PSK di lokalisasi Dolly dan Tretes. Usia mereka berkisar 16-35 tahun, berasal dari Desa Kedungbendo, Jatirejo, dan Siring (Kompas, 25 Juni 2007).

Fenomena women trafficking sangat mungkin merupakan gejala gunung emas. Artinya, yang tidak terlacak jauh lebih banyak daripada yang diberitakan. Apalagi berbagai problem sosial dan ekonomi masih dirasakan sebagian besar para korban lumpur hingga saat ini.

PR Serius

Kompleksitas beban yang di-tanggung perempuan di wilayah bencana lumpur ini sungguh menjadi PR serius bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan kemunculan bencana ini.

Problem struktural yang dialami perempuan korban bencana itu dijelaskan oleh Elaine Enarson, sosiolog asal Kanada, dalam bukunya yang berjudul "Gender and Natural Disaster". Menurut Enarson, kaum perempuan lebih lebih rentan terhadap bencana, melalui peran-peran sosial yang tercipta untuk mereka.

Perempuan lebih sedikit memiliki akses terhadap berbagai sumber daya. Misalnya akses terhadap jaringan dan pengaruh sosial, transportasi, informasi, keterampilan dan literasi, penguasaan lahan dan sumber-sumber ekonomi lainnya, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, rasa aman dari kekerasan, dan kontrol atas pengambilan keputusan.

Padahal akses terhadap sumber-sumber daya tersebut sangat penting dalam mendukung kesiapsiagaan terhadap bencana, proses mitigasi, dan rehabilitasi pasca bencana.

Untuk meningkatkan resiliensi perempuan terhadap bencana, akses-akses tersebut harus dibuka. Ini tak hanya berlaku dalam kasus lumpur di Sidoarjo, namun juga untuk kasus-kasus bencana lainnya.

Dalam kasus lumpur Lapindo, perempuan harus diberi kontrol yang sama dalam keputusan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan tentang mitigasi dan rehabilitasi bencana harus juga melibatkan suara perempuan.

Keterlibatan ini tak hanya menyangkut keputusan besar seperti relokasi dan ganti rugi, tetapi juga hal-hal yang tampak "sepele" seperti penentuan lokasi MCK, sumber air bersih, dapur ,dan desain pengungsian yang "ramah" perempuan.
Dengan keterlibatan aktif perempuan, maka suara dan kepentingan perempuan akan lebih bisa didengar dan dipertimbangkan.

Hal ini penting agar kubangan lumpur yang sudah bertahan tiga tahun ini tidak lagi terlalu membuat sesak dada perempuan. Semoga!

(Dani Muhtada, staf pengajar FH Universitas Negeri Semarang, alumnus Flinders University Australia-32)

No comments:

Post a Comment