Wednesday, April 15, 2009

HR Rasuna Said, Ulama dan Perempuan Pejuang

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 15 April 2009

NAMA HR Rasuna Said selama ini lebih dikenal sebagai nama jalan protokol di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Mungkin tidak banyak yang mengenal siapa sebenarnya tokoh ini. Padahal, Rasuna Said adalah seorang ulama, sekaligus perempuan pejuang yang terkemuka di zamannya.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhamad Said, adalah pengusaha sukses di daerahnya. Setamat pendidikan dasar, Rasuna Said melanjutkan pendidikan di Diniyah School Puteri Padang, di bawah asuhan Zainuddin Labai el-Yunusi.

Karena kecerdasannya, pada waktu kelas 5 dan 6, ia dipercaya mengajar di kelas-kelas yang lebih rendah. Kemudian ia melanjutkan pelajaran agamanya kepada Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang merupakan salah satu tokoh pembaru di Minangkabau. Ia pun sempat belajar di Sekolah Thawalib Maninjau selama dua tahun, di bawah asuhan Haji Udin Rahmani.

Kesadarannya yang tinggi tentang kesetaraan gender serta kepeduliannya terhadap nasib bangsa membuatnya terlibat aktif dalam berbagai organisasi perjuangan. Tahun 1930, Rasuna ikut mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi), sebuah organisasi perjuangan.

Ia aktif mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi. Lewat organisasi ini, ia juga turut mendirikan berbagai sekolah di polosok-pelosok Sumatera Barat. Sebuah Kursus Putri di Bukittinggi pun sempat dipimpinnya.

Rasuna juga dikenal sebagai orator dan aktivis yang gigih menentang penjajahan Belanda. Karena pidatonya sangat tajam terhadap pemerintah Belanda, ia ditangkap dan dipenjara di Semarang (1932).

Ia menjadi perempuan pertama yang dijerat pasal Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang dapat menghukum siapapun yang berbicara keras menentang Belanda.

Untuk menyuarakan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan dan kesetaraan perempuan, Rasuna juga aktif dalam jurnalisme. Ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya.

Di Medan, ia menerbitkan majalah Menara Putri, yang khusus mengulas masalah keislaman, kesetaraan perempuan, dan peran perempuan. Di Medan pula, ia mendirikan Perguruan Putri, yakni sekolah pendidikan khusus perempuan.

Setelah kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian ia terpilih sebagai anggota DPR-RIS di tahun 1950-an. Pada 1959, Rasuna diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga akhir hayatnya, 2 November 1965. Karena jasa-jasanya, Rasuna dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta.

Menentang Ombak

Aktivitas dan perjuangan Rasuna dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi generasi penerus, terutama yang memiliki perhatian pada perjuangan perempuan dan kesetaraan gender.

Pertama, Rasuna merupakan prototipe perempuan pejuang yang tidak hanya ’’bisa bicara’’, namun juga mampu mengimplementasikan gagasan-gagasannya dalam praktik. Selain orasinya yang memesona, Rasuna juga membuka berbagai sekolah dan turut mengajar.

Ia juga menerbitkan majalah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Para aktivis zaman sekarang memiliki fasilitas yang lebih untuk mengembangkan dan mengaktualisasi dirinya. Selain itu, dukungan dari berbagai sistem juga memudahkan aktivis modern dalam mewujudkan gagasannya. Mereka hanya perlu kemauan, keyakinan, dan kerja keras untuk meraih cita-cita. Spirit inilah yang melekat kuat pada diri Rasuna Said, dan seyogyanya menginspirasi para aktivis Indonesia kontemporer.

Kedua, untuk sebuah idealisme, Rasuna berani menentang ombak. Ia rela menggadaikan kebebasannya di penjara.

Tetapi, penjara gagal membungkamnya. Sebaliknya, semangat Rasuna makin berkobar, dan keberaniannya makin mengkristal. Sungguh, ini pelajaran sangat berharga bagi para aktivis Indonesia modern. Rasuna mengajarkan kepada kita untuk lebih mengedepankan idealisme dan tak menomorsatukan hal-hal yang bersifat duniawi.

Sebagai pejuang, Rasuna benar-benar mengamalkan ajaran Nabi: ’’Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya’’. Rasuna memilih tak hanya berjuang dengan lisan semata, tetapi juga dengan tangannya, dengan mendirikan berbagai sekolah dan penerbitan majalah.

Ketiga, dalam konteks pemilu, tokoh Rasuna menjadi pelajaran berharga bagi para caleg perempuan. Rasuna tampil menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera dan anggota DPR-RIS bukan karena kasihan atau pesona fisiknya. Ia dipilih karena memang secara intrinsik memiliki keunggulan dan kapabilitas untuk menjadi wakil rakyat. Rasuna dikenal amat cerdas, berani dan lincah dalam mengartikulasikan ide-idenya.

Para caleg perempuan di zaman sekarang lebih beruntung. Ada sistem yang memudahkannya untuk menjadi wakil rakyat. Misalnya melalui strategi affirmative action, meski pada akhirnya dianulir Mahkamah Konstitusi. Tetapi, setidaknya, kultur masyarakat saat ini lebih terbuka daripada kultur masyarakat di masa Rasuna.

Secara implisit, kisah Rasuna mengajarkan kepada para caleg untuk tidak menjual ketenaran dan kecantikan belaka, demi meraih simpati. Yang harus ditonjolkan adalah kecerdasan, keberanian, dan integritas untuk selalu menyuarakan hati nurani.

Semoga hasil Pemilu Legislatif 2009 bisa memunculkan Rasuna-Rasuna muda yang lebih cerdas, lebih profesional, dan memiliki integritas demi kepentingan rakyat. Semoga!

(Dani Muhtada, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang-32)