Wednesday, August 10, 2011

Kiat Meraih Beasiswa Luar Negeri

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Web Unnes, 10 Agustus 2011

Kali ini saya ingin berbagi kiat meraih beasiswa ke luar negeri. Tentu sifatnya sangat personal, berdasarkan pengalaman pribadi. Bukan satu-satunya kiat yang harus diikuti. Tetapi setidaknya, ini bisa menjadi pelengkap dari berbagai kiat yang sudah banyak diungkap oleh mereka yang telah sukses. Para pembaca bisa menjadikannya sebagai bahan untuk menyusun sendiri strategi yang lebih efektif dan paling sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Beberapa kawan bercerita bahwa mereka mendapatkan beasiswa karena faktor keberuntungan. Saya tidak sepenuhnya menolak anggapan ini. Tetapi juga tidak sepenuhnya mengamini. Bagi saya, berburu beasiswa harus dilakukan dengan strategi yang tepat. Jika perlu, persiapan harus dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Faktor keberuntungan pasti ada. Tetapi ini bukan wewenang kita. Itu wewenang Tuhan. Tugas kita adalah menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk meraih apa yang dicita-citakan.

Dua Persiapan

Menurut saya, ada dua persiapan penting untuk mendapatkan beasiswa luar negeri: persiapan substantif dan persiapan teknis.

Pertama, persiapan substantif menyangkut kelayakan kita sebagai calon penerima beasiswa. Semakin baik persiapan substantif, semakin besar kesempatan kita mendapatkan beasiswa. Termasuk persiapan substantif adalah record akademik kita pada jenjang pendidikan sebelumnya. Kalau kita ingin melamar untuk beasiswa S2, maka indeks prestasi (IP) saat S1 perlu kita perhatikan. Semakin tinggi IP kita, semakin besar “kesempatan” kita mendapatkan beasiswa. Untuk melamar beasiswa S3, kita juga perlu memiliki karya tulis yang “layak jual”. Misalnya, memiliki tesis yang sangat baik, hasil riset yang sudah dipublikasikan, atau pernah menjuarai karya tulis ilmiah di event tertentu. Sering menulis artikel di koran atau majalah juga bisa menjadi poin yang berharga bagi pertimbangan sponsor.

Setelah record akademik, kemampuan bahasa asing juga merupakan persiapan substantif yang harus disiapkan jauh-jauh hari. Skor TOEFL atau IELTS menjadi patokan di banyak universitas di Barat. Jika kita hendak melamar beasiswa S2, setidaknya kita perlu memiliki skor TOEFL 500 atau IELTS 6.0. Lebih baik lagi jika skor kita TOEFL 550 atau IELTS 6.5. Jika hendak melamar beasiswa S3, sebaiknya kita memiliki skor TOEFL 600, atau IELTS 7.0. Ini tidak berarti skor di bawah itu tidak mungkin mendapatkan beasiswa. Poin saya adalah, semakin tinggi skor kita, semakin tinggi daya saing kita di antara para pendaftar lain. Khusus kuliah di Amerika Serikat, kadang-kadang kita diminta menyertakan skor GRE atau GMAT, tergantung pada jurusan yang hendak dipilih. Ini semacam tes potensi akademik (TPA) kalau di Indonesia.

Selain kemampuan akademik dan bahasa asing, pihak sponsor biasanya juga melihat record sosial kita. Di sini, pengalaman berorganisasi menjadi poin penting. Misalnya, waktu kuliah kita pernah aktif di BEM, UKM, atau kegiatan-kegiatan esktrakampus. Pernah menjadi pengurus ormas (NU, Muhammadiyah, karang taruna, dan lain-lain) pun menjadi kelebihan tersendiri. Pihak sponsor biasanya suka orang-orang yang memiliki track record sosial, sebab mereka diharapkan dapat menjadi “motor” bagi komunitasnya setelah kembali ke Tanah Air.

Kedua, persiapan teknis menyangkut kemampuan kita memahami prosedur, standar dan kriteria yang telah ditetapkan pihak sponsor. Ini beda-beda, tergantung pada beasiswa apa yang hendak kita kejar. Apakah kita sedang mengejar beasiswa ADS (Australia), Chevening (Inggris), Fulbright (Amerika), DAAD (Jerman), atau Ford Foundation. Tiap-tiap sponsor beasiswa punya prosedur, standar, dan kriteria masing-masing. Sebagai pemburu beasiswa, kita harus cermat memahami apa “maunya” sponsor dan apa yang membuat mereka “tertarik” kepada calon penerima beasiswa. Pemahaman yang baik tentang apa “maunya” sponsor akan sangat membantu kita dalam menyusun strategi yang efektif untuk menarik perhatian mereka.

Langkah Konkret

Langkah pertama adalah membaca baik-baik website dan pengumuman mereka tentang beasiswa. Di sini kita bisa mendapatkan informasi tentang kandidat seperti apa yang sedang mereka cari. Langkah selanjutnya adalah “memoles” diri kita agar “dilirik” oleh sponsor. Ingat, ribuan lamaran masuk setiap tahunnya ke meja sponsor. Jika kita gagal “memoles” berkas lamaran, berkas-berkas yang sudah kita buat dengan susah payah itu akan dengan cepat masuk tong sampah.

Karena itu, pengisian formulir beasiswa adalah tahapan sangat penting dalam persiapan teknis ini. Saya selalu berkonsultasi kepada “para pendahulu” setiap kali mengisi formulir beasiswa. Ketika mengisi formulir beasiswa ADS (Australia), saya berkonsultasi dengan beberapa kawan yang telah berhasil kuliah di Australia dengan beasiswa ADS. Demikian pula ketika hendak melamar beasiswa Fulbright (Amerika), saya minta saran beberapa kawan yang telah sukses menjadi Fulbrighters. Saya berasumsi, mereka ini adalah orang-orang yang telah memenuhi kriteria para sponsor. Karena itu, saran-saran mereka tentang formulir dan berkas lamaran sangat penting untuk membuat lamaran saya lebih “menarik” di mata sponsor. Ketika pada akhirnya saya dipanggil wawancara, saya pun senantiasa menyempatkan diri meminta saran dari “orang-orang baik” ini. Pengalaman dan strategi mereka biasanya sangat “ampuh” untuk bahan “mengatasi” para pewawancara.

Selain formulir beasiswa, seringkali pihak sponsor meminta kita menyertakan study objective dan personal statement. Study objective berisi tentang rencana studi atau riset kita. Adapun personal statement berisi tentang siapa kita dan apa yang hendak kita capai dalam karier dan kehidupan kita. Dua dokumen ini digunakan oleh sponsor untuk menilai kesiapan kita melakukan studi, kemampuan beradaptasi dengan budaya asing, serta tingkat “kemanfaatan” kita bagi masyarakat di masa depan. Untuk penulisan dua dokumen ini, saya juga selalu meminta saran kawan-kawan yang telah sukses mendapatkan beasiswa. Biasanya saya kirimkan dokumen via email, lalu mereka memberikan saran atau komentar untuk mempertajam kualitas dokumen kita.

Dalam pengiriman berkas lamaran, sangat penting memerhatikan ketentuan tentang dokumen. Saran saya, penuhilah dokumen-dokumen yang diminta. Jangan terlewatkan satu dokumen pun! Dokumen-dokumen penunjang bisa pula disertakan, sepanjang tidak “dilarang” oleh pihak sponsor. Untuk surat rekomendasi, sebaiknya kita mendapatkannya dari mantan pembimbing atau dosen yang punya reputasi akademik. Lebih bagus jika mantan pembimbing tersebut punya reputasi internasional atau pernah kuliah di negara tujuan kita. Surat rekomendasi dari atasan, atau seorang tokoh nasional yang punya pengaruh, pun bisa kita gunakan. Asal pihak sponsor dapat diyakinkan bahwa pemberi rekomendasi memang mengenal kita dengan baik. Jangan mencari rekomendasi dari teman atau kerabat dekat. Besar kemungkinan rekomendasi semacam itu tidak akan dipertimbangkan.

Apakah perlu menyertakan surat rekomedasi dari calon profesor di luar negeri? Kalau ada, itu akan menjadi poin yang sangat berharga. Namun jika tidak pun, tidak jadi soal. Pihak sponsor biasanya tidak mempersyaratkan surat dari calon pembimbing. Terutama di Amerika Serikat, pembimbing bisa kita dapatkan setelah kita masuk menjadi mahasiswa di universitas tujuan.

Yang terakhir, jangan pernah putus asa jika kita menemui kegagalan. Ada seorang kawan yang baru berhasil setelah tujuh kali mencoba! Jika Anda masih percaya Tuhan, jangan lupa banyak berdoa. Segala sesuatu dapat saja terjadi selama proses seleksi. Di sinilah faktor “luck” menjadi penentu. Karena faktor ini hanya menjadi wewenang Tuhan, maka sering-seringlah mendekat kepada-Nya. Berharap, agar Tuhan berada di pihak kita. Semoga dengan-Nya, kita selalu mendapatkan kemudahan dan keberuntungan. Selamat mencoba!