Thursday, January 30, 2020

Hukum Omnibus dan Perda Syariah

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 30 Januari 2020

SUARA Merdeka memuat berita berjudul ”Omnibus Law Larang Perda Syariah” (22/1). Judul ini menarik dan cukup provokatif, mengingat umat Islam merupakan populasi mayoritas di Indonesia. Pemerintah bisa menanggung akibat politik yang merepotkan jika benar program ini memuat larangan perda syariah. Pertanyaannya, benarkah hukum omnibus melarang perda syariah?Bagaimana bunyi klausul terkait larangan tersebut?

Sebagaimana diberitakan oleh koran ini, Pasal 522 Ayat (1) RUU Cipta Lapangan Kerja menyatakan bahwa, ”Perda dan perkada (peraturan kepala daerah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 Ayat (1) dan Ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesuilaan”. Koran ini juga memberitakan bahwa kepentingan umum yang dimaksud dalam ketentuan tersebut meliputi (1) terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; (2) terganggunya akses terhadap pelayanan publik; (3) terganggunya ketentraman dan ketertiban umum; (4) terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau (5) diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, antargolongan, dan gender.

Dari lima poin tersebut, tampaknya poin nomor lima yang menjadi dasar asumsi bahwa hukum omnibus melarang perda syariah. Pasalnya, sebagian publik memang beranggapan bahwa perda syariah bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan kebinekaan Indonesia. Sebuah asumsi yang menurut penulis tidak tepat dan menunjukkan adanya kegagalan dalam memahami konsep perda syariah.

Perda syariah biasanya digunakan oleh publik untuk menyebut regulasi daerah yang bernuansa Islam, atau terinspirasi oleh syariat Islam. Tetapi dalam kajian hukum positif di Indonesia, kecuali untuk konteks Aceh, terminologi perda syariah sebenarnya tidak dikenal. Apa yang dianggap khalayak sebagai perda syariah sesungguhnya adalah perda biasa, yang dikeluarkan oleh pemerintah kota/kabupaten atau provinsi. Hanya saja, materinya ”dianggap” berbau syariah. Di antara regulasi daerah yang dianggap sebagai perda syariah misalnya perda tentang madrasah diniah, baca tulis Alquran, zakat, busana muslim, pelacuran, perjudian, dan minuman beralkohol.

Pengaturan dalam perda-perda tersebut memang terkait dengan eksistensi masyarakat muslim setempat. Tetapi pengaturan yang terkait dengan eksistensi masyarakat muslim tersebut tidak otomatis mengindikasikan adanya diskriminasi. Perda madrasah diniah di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat, misalnya, memuat pengaturan tentang kurikulum madrasah, insentif bagi madrasah dan ustadz, dan klausul-klausul lain terkait pengembangan madrasah diniah di daerah setempat.

Perda tentang baca tulis Alquran di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat mendorong peningkatan literasi baca tulis Alquran di kalangan masyarakat muslim. Perda zakat pun demikian pula halnya. Berbagai regulasi yang diilhami oleh ajaran Islam ini tidak bisa dianggap sebagai diskriminatif hanya karena ia mengatur persoalan terkait pengembangan nilai-nilai keagamaan di tengah masyarakat. Hal ini sama seperti ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU terkait haji, zakat, pesantren, atau wakaf. Meskipun berbau syariah, undangundang tersebut tidak pernah disebut sebagai UU syariah dan bersifat diskriminatif.

Bias Gender

Memang, ada perda syariah yang mengandung substansi bias gender. Sehingga sebagian aktivis hak asasi manusia, dan gerakan feminisme menolaknya. Misalnya Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat. Pasal 6 Ayat (1) dalam perda tersebut menyebutkan bahwa setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani mahramnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ayat (2) menyebutkan bahwa setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. Sedangkan Ayat (3) menyatakan larangan untuk menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang mini dan atau ketat.

Pasal 6 ini tertulis di Bagian Ketiga tentang Pencegahan Perkosaan dan Pelecehan Seks. Memang, klausul dalam pasal tersebut cukup problematik dan terkesan bias gender. Penerapannya dapat menyulitkan perempuan-perempuan yang bekerja malam atau dini hari untuk mencari nafkah. Misalnya mereka yang bekerja di pasar-pasar tradisional. Demikian pula ketentuan dalam Ayat (2) dan (3) yang sangat bias gender dan merefleksikan dominasi kultur patriarki dalam penyusunan regulasi.

Tetapi perda syariah semacam ini tidak dominan dan tidak bisa menjadi dasar generalisasi bahwa semua perda syariah bersifat diskriminatif. Dari 422 perda syariah yang berhasil penulis identifikasi di tahun 2013, sebanyak 252 (60%) berhubungan langsung dengan syariat Islam seperti zakat, Alquran, busana muslim, keuangan syariah, dan keimanan. Sedangkan 170 (40%) berhubungan dengan moralitas seperti minuman keras, perjudian, ketertiban umum, maksiat, dan pelacuran.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Pasal 522 Ayat (1) RUU Cipta Lapangan Kerja bukan merupakan ancaman terhadap perda syariah. Klausul tentang larangan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, antargolongan, dan gender merupakan norma u m u m yang memang seharusnya dipenuhi oleh semua regulasi di Indonesia. Tidak hanya regulasi yang dianggap sebagai perda syariah, tetapi juga regulasiregulasi lain yang tidak ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan syariat Islam. (54)

— Dani Muhtada MPA PhD, Ketua Pusat Studi Regulasi dan Kebijakan Publik (PSRKP) Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Sumber: Suara Merdeka, 30 Januari 2020