Friday, June 13, 2008

Tauhid dan Tantangan Globalisasi

Oleh Dani Muhtada
Diterbitkan dalam Buletin "Al-Hikmah"
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Magelang
Edisi 19; 13 Juni 2008


Tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Secara etimologi, tauhid berasal dari bahasa Arab “wahhada-yuwahhidu” yang berarti mengesakan. Secara terminologi, tauhid berarti mengesakan Allah SWT baik dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya (Yunahar Ilyas, 2007. h. 18).

Teori ilmu kalan (teologi Islam) membagi tauhid menjadi tiga. Pertama, tauhid rububiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki bagi semua makhluk di alam semesta. Dalam QS. Fathir (35): 3, Allah SWT berfirman: “Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Adakah pencipta lain selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan yang berhak disembah) kecuali Dia. Maka mengapa kamu berpaling (dari mengesakan-Nya)?”

Kedua, tauhid mulkiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa alam semesta. Tauhid milkiyyah ini menekankan eksistensi manusia sebagai hamba (mamluki) dari Yang Maha Raja, sehingga manusia harus senantiasa tunduk taat dan kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Ketiga, tauhid ilahiyyah, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh segenap makhluk di alam raya. Termasuk dalam pengertian ini adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satuanya pelindung sejati bagi semua makhluk. Allah SWT berfirman dalam QS. Thaha (20): 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.

Ketiga jenis tauhid ini merupakan satu kesatuan keyakinan yang tak terpisahkan dan wajib diterapkan oleh kaum beriman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang mengaku percaya kepada Allah SWT, maka pada saat yang sama ia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, penguasa, pelindung dan Tuhan yang berhak disembah di alam semesta ini.

Bertauhid di Era Globalisasi

Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya praktik-praktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam ketika itu melakukan kegiatan-kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara jimat, dll. Praktik-praktik seperti inilah yang dahulu coba diberantas oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan.

Agak berbeda dengan hal tersebut di atas, tantangan tauhid di abad 21 lebih komples. Era globalisasi yang dialami manusia modern menciptakan tuhan-tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia dipersatukan dalam sebuah komunitas tunggal, baik secara ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik. Dalam globalisasi, batas-batas teritorial antarnegara memang masih ada, namun sudah tidak lagi signifikan untuk memisahkan koneksitas kehidupan yang ada di dalamnya. Jarak, ruang dan waktu menjadi tidak lagi memisahkan komunikasi manusia-manusia di belahan bumi berbeda. Ini artinya, apa yang terjadi di satu belahan bumi dapat segera didengar, diketahui, bahkan mempengaruhi belahan bumi yang lain.

Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek positif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangan-tantangan yang justru dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum beriman. Salah satu di antara tantangan globalisasi adalah materialisme.

Tidak dapat dipungkiri, materialisme kini menjadi salah satu “tuhan” yang disembah oleh manusia-manusia modern. Nilai-nilai spiritual terabaikan, sementara prestasi-prestasi material menjadi berhala-berhala baru. Di Indonesia, materialisme bahkan menjadi orientasi pembangunan selama bertahun-tahun. Orientasi yang materialistik ini menjadikan segala bentuk keberhasilan diukur dari angka-angka. Akibatnya, kerja keras yang telah kita pertaruhkan selama beberapa dekade nyaris berbuah nihilisme. Apa yang dikejar-kejar bangsa kita ternyata sekedar kesemuan. Tidak hanya dalam proyek-proyek pembangunan fisik, tapi juga proyek-proyek pembangunan nonfisik.
Di dunia pendidikan misalnya, siswa-siswa kita diperas energinya siang malam untuk sebuah “angka”. Kerja keras para guru dan orang tua dalam bentuk les-les tambahan di luar sekolah menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Orientasi belajar anak diarahkan pada perolehan target-target formal. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan pengerdilan potensi kemanusiaan. Bangsa kita sedang bekerja keras mencetak robot-robot masa depan “zonder” nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan kita ikut-ikutan hanya pada dataran formal. Asal sudah “berbau” agama, seakan sudah dianggap religius. Tidak ada implikasi keagamaan dalam realitas sosial. Pelajaran agama di sekolah-sekolah berorientasi pada aspek-aspek kognitif. Sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat penekanan. Polanya cenderung mengacu pada transfer pengetahuan, dan bukan pengamalan.

Rapuhnya struktur sosial bangsa kita saat ini merupakan buah dari target-target materialisme itu. Sopan santun hilang, etika melayang, dan kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat pada orang tua dan guru menjadi barang langka. Tawuran antarpelajar menjadi tontonan gratis di jalan-jalan. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan hukum tinggal kenangan. Perampokan, penjarahan, dan penipuan tidak cuma dilakukan masyarakat lapisan bawah, tapi juga oleh kelompok manusia berdasi.

Di sisi lain, sekularisme menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Ibadah ditegakkan, namun kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Tidak heran, kendati jumlah jamaah haji terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun praktik korupsi pun bak cendawan di musim hujan.

Orientasi-orientasi materialisme–sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Menghamba kepada kepentingan ekonomi, kekuasaan, prestise, dan kepentingan-kepentingan lain yang berlandaskan hawa nafsu. Allah SWT menyindir dalam QS. Jatsiyah: 23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Karena itu, pemurnian tauhid di tengah arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Setiap penghambaan terhadap “tuhan-tuhan” materi perlu segera dibersihkan dari lubuk hati kaum beriman. Dan Allah SWT harus dijadikan sebagai satu-satunya orientasi kehidupan yang sejati, karena Dia adalah satu-satunya Pencipta dan Harapan (tauhid rububiyyah), satu-satunya Pemilik dan Penguasa alam raya (tauhid mulkiyyah), dan satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh manusia dan seluruh makhluk di alam semesta (tauhid uluhiyyah). Wallahu A’lam.