Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Harian Umum Pelita, 21 Februari 2009
Meskipun forum musyawarah ulama komisi fatwa se-Indonesia III di Sumatera Barat telah berakhir beberapa waktu yang lalu, namun efeknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu keputusan yang hingga kini menjadi pro dan kontra adalah fatwa haram tidak menyalurkan hak suara pada pemilu (golput).
Kelompok yang setuju beralasan bahwa fatwa tersebut lahir untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Menurut kelompok ini, partisipasi yang rendah dalam pemilu hanya akan mempengaruhi legitimasi calon wakil atau pemimpin terpilih. Sedang legitimasi yang rendah sama dengan tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin. Ini tentu tidak diharapkan, apalagi dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu cukup besar.
Kelompok Islam revivalis juga mendukung fatwa haram ini. Alasannya, seperti bisa dilihat di beberapa ruang diskusi di dunia maya, jika umat Islam tidak menggunakan hak pilihnya, maka dikhawatirkan umat agama lain akan men-take over kendali kekuasaan di negeri ini. Menurut kelompok ini, penolakan terhadap fatwa haram merupakan agenda politik terselubung untuk menjauhkan umat Islam dari politik praktis.
Sementara itu, argumentasi kelompok penentang tidak kalah rasionalnya. Banyak orang memilih golput karena berbagai alasan politis atau teknis. Alasan politis misalnya ketiadaan caleg yang representatif, ketidakbecusan beberapa anggota legislatif dalam menjalankan kewajiban, penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan sebagainya. Alasan teknis misalnya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, sedang masuk angin di rumah, sedang di luar kota, atau kepentingan-kepentingan lain yang membuat mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilih.
Ada pula kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya karena alasan ideologis. Ini terjadi misalnya pada kelompok-kelompok Islam yang menganggap demokrasi sebagai produk toghut (baca: Barat, kafir). Dalam pandangan mereka, keterlibatan aktif dalam pemilu merupakan wujud penerimaan langsung dari demokrasi yang kafir dan tidak syar'i. Karena itu, golput bukan lagi haram, tetapi bahkan wajib. Sebaliknya, menggunakan hak pilih bukanlah wajib, tetapi merupakan tindakan terlarang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah yang lurus (aqidah salimah).
Agama dan Politik
Secara sosiologis, fatwa golput haram merupakan indikator perkawinan antara agama dan politik. Dalam Islam, perkawinan antara agama dan politik bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Asumsinya, politik merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengaktualisasikan pesan-pesan ketuhanan (divine messages) di ranah publik. Ini karena dalam Islam, agama tidak hanya soal moralitas individual (kesalehan personal), namun juga soal kemaslahatan sosial (ketertiban umum, keadilan, harmoni). Slogan yang biasa digunakan untuk meneguhkan citra agama yang demikian adalah al-Islam din wa daulah (Islam adalah agama dan negara).
Secara teoritis, konsep al-Islam din wa daulah sangat positif. Nilai-nilai religiusitas yang abstrak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial yang lebih kongkret. Namun pada praktiknya, konsep tersebut tidak jarang melahirkan perselingkuhan antara agama dan politik. Yang terjadi bukan lagi politik menjadi instrumen agama untuk kepentingan masyarakat, tetapi agama menjadi instrumen politik untuk kepentingan politis tertentu.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa fatwa golput merupakan hasil perselingkuhan antara agama dan politik. Namun produk fatwa seperti itu sangat berpotensi disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk meraup keuntungan politis seluas-luasnya. Alih-alih suara umat Islam dapat terwakili, suara tersebut justru dimanfaatkan untuk melegitimasi syahwat politik para elit yang tidak bertanggung jawab.
Fatwa golput mungkin tidak akan menjadi persoalan dan kemudian diperdebatkan, kalau saja semua orang memahami bahwa fatwa dalam teori hukum Islam hanyalah pandangan hukum (legal opinion) seorang ahli yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (binding). Masalahnya, tidak sedikit masyarakat yang menganggap fatwa sebagai syariat yang harus ditaati. Sehingga ketika MUI mengeluarakan fatwa haram untuk golput, sontak sebagian masyarakat kaget dan menganggap MUI melakukan tindakan yang aneh-aneh.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kalau tidak menggunakan hak pilih lantas masuk neraka? Padahal, legitimasi haram pada fatwa golput berbeda dengan legitimasi haram pada hukum mencuri. Yang pertama bersumber dari pendapat ahli hukum yang sifatnya tidak mengikat, kecuali pada si pemberi fatwa dan para pengikutnya. Yang kedua bersumber dari Tuhan (kitab suci) yang sifatnya mengikat dan harus ditaati oleh seluruh umat. Siapapun yang melanggar, dianggap telah memesan tiket ke neraka.
Dengan demikian apakah fatwa MUI tersebut keliru? Menurut saya, tidak juga. Namun akan lebih bijaksana kalau dalam soal golput MUI mengeluarkan statemen-statemen yang lebih bersifat seruan moral. Bukan keputusan hukum yang berakhir dengan statemen haram. Yang demikian itu saya kira akan lebih menenteramkan umat dan menghindarkan MUI dari penyalahgunaan institusi keagamaan oleh kelompok politik tertentu. Selain tentu saja akan lebih menjaga marwah para ulama sebagai salah satu benteng moral di negeri kita tercinta. Itu pendapat saya. Wallahu A'lam.
No comments:
Post a Comment