Saturday, February 28, 2009

Menjadikan Menulis Sebagai Wirid

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 28 Februari 2009
(Rubrik Kampus - Forum Halaman Kampus [FHK])

DALAM suatu kesempatan, saya bertanya kepada Prof Abdul Munir Mulkhan tentang apa yang membuatnya begitu produktif dalam menghasilkan berbagai buku dan tulisan. Pertanyaan ini menggelitik, karena guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu telah menghasilkan tidak kurang dari 60 buku, dan ratusan tulisan di berbagai media massa. Dengan kalem, beliau menjawab, ’’Saya menjadikan menulis sebagai wirid!’’

Dalam tradisi Islam, wirid adalah rutinitas membaca kalimat-kalimat tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya orang Islam melakukan wirid setelah shalat, baik shalat wajib maupun sunnah. Beberapa orang lebih menyukai wirid di tengah malam, ketika shalat tahajud, karena suasananya lebih hening dan lebih khusyu.

Tidak seperti kebanyakan orang, wirid bagi Munir Mulkhan bukan hanya kalimat-kalimat tayyibah. Wirid Munir adalah menulis. Dengan menulis, Munir ingin mendekati Allah. Menulis adalah olah batin dan laku spiritual. Dengan menulis, dia membuka pintu-pintu kegelapan. Ia memasuki relung-relung hati dan sudut-sudut pikiran yang tak terbayangkan. Menjelajahi wilayah-wilayah yang tak terjamah oleh banyak orang.

Menulis sebagai wirid berarti mencari jalan terang menuju hidayah. Petunjuk bagi penulis dan para pembacanya. Layaknya tokoh sufi Jalaluddin al-Rumi, yang mencari terang melalui olah gerak dan tari, wirid dengan menulis adalah praktik sufisme melalui olah kalimat dan huruf-huruf.

Dua Keuntungan

Bagi penulis pemula, menulis sebagai wirid memiliki dua keuntungan. Pertama, memberikan dorongan yang terus-menerus untuk menulis, tanpa harus berharap mendapatkan reward seketika dari apa yang ditulisnya.

Dengan wirid, seorang penulis percaya bahwa apa yang ditulisnya adalah olah batin dan laku spiritual. Sehingga, jika tulisannya tidak dimuat, atau tidak mendapatkan apresiasi dari orang lain, itu tidak membuatnya patah arang. Ia tetap bersemangat untuk menulis. Sebab, baginya, menulis adalah taqarrub kepada sang Khaliq, yang tidak mengenal kata berhenti.

Kedua, dorongan yang terus-menerus tersebut membuat si penulis lebih ’’terlatih’’ menata bahasanya. Kata pepatah, ’’Practice makes perfect’’. Makin (sering) ia menulis, makin ia menguasai kata-kata. Makin tajam pula intuisinya mendekati wilayah-wilayah yang tak terjamah. Ibarat berlatih sepak bola, makin sering berlatih makin tahu bagaimana membawa bola dan ke mana bola itu harus diarahkan. Substansi menulis pun demikian.

Sungguh, menulis sebagai wirid memerlukan konsistensi (istiqamah). Tanpa itu, menulis bukanlah wirid. Zamhuri, senior saya di LPM Justisia dulu, pernah berujar bahwa pekerjaan penulis adalah menulis. Jika seorang penulis tidak lagi menulis, maka ia bukan lagi penulis. Meminjam bahasa Descartes, ’’Aku menulis, maka aku ada!’’. Begitu kira-kira falsafah seorang penulis. (32)

—Dani Muhtada, mantan wapemred LPM Justisia, kini staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Saturday, February 21, 2009

Islam, Politik dan Fatwa Golput

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Harian Umum Pelita, 21 Februari 2009

Meskipun forum musyawarah ulama komisi fatwa se-Indonesia III di Sumatera Barat telah berakhir beberapa waktu yang lalu, namun efeknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu keputusan yang hingga kini menjadi pro dan kontra adalah fatwa haram tidak menyalurkan hak suara pada pemilu (golput).

Kelompok yang setuju beralasan bahwa fatwa tersebut lahir untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Menurut kelompok ini, partisipasi yang rendah dalam pemilu hanya akan mempengaruhi legitimasi calon wakil atau pemimpin terpilih. Sedang legitimasi yang rendah sama dengan tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin. Ini tentu tidak diharapkan, apalagi dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu cukup besar.

Kelompok Islam revivalis juga mendukung fatwa haram ini. Alasannya, seperti bisa dilihat di beberapa ruang diskusi di dunia maya, jika umat Islam tidak menggunakan hak pilihnya, maka dikhawatirkan umat agama lain akan men-take over kendali kekuasaan di negeri ini. Menurut kelompok ini, penolakan terhadap fatwa haram merupakan agenda politik terselubung untuk menjauhkan umat Islam dari politik praktis.

Sementara itu, argumentasi kelompok penentang tidak kalah rasionalnya. Banyak orang memilih golput karena berbagai alasan politis atau teknis. Alasan politis misalnya ketiadaan caleg yang representatif, ketidakbecusan beberapa anggota legislatif dalam menjalankan kewajiban, penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan sebagainya. Alasan teknis misalnya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, sedang masuk angin di rumah, sedang di luar kota, atau kepentingan-kepentingan lain yang membuat mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilih.

Ada pula kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya karena alasan ideologis. Ini terjadi misalnya pada kelompok-kelompok Islam yang menganggap demokrasi sebagai produk toghut (baca: Barat, kafir). Dalam pandangan mereka, keterlibatan aktif dalam pemilu merupakan wujud penerimaan langsung dari demokrasi yang kafir dan tidak syar'i. Karena itu, golput bukan lagi haram, tetapi bahkan wajib. Sebaliknya, menggunakan hak pilih bukanlah wajib, tetapi merupakan tindakan terlarang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah yang lurus (aqidah salimah).

Agama dan Politik
Secara sosiologis, fatwa golput haram merupakan indikator perkawinan antara agama dan politik. Dalam Islam, perkawinan antara agama dan politik bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Asumsinya, politik merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengaktualisasikan pesan-pesan ketuhanan (divine messages) di ranah publik. Ini karena dalam Islam, agama tidak hanya soal moralitas individual (kesalehan personal), namun juga soal kemaslahatan sosial (ketertiban umum, keadilan, harmoni). Slogan yang biasa digunakan untuk meneguhkan citra agama yang demikian adalah al-Islam din wa daulah (Islam adalah agama dan negara).

Secara teoritis, konsep al-Islam din wa daulah sangat positif. Nilai-nilai religiusitas yang abstrak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial yang lebih kongkret. Namun pada praktiknya, konsep tersebut tidak jarang melahirkan perselingkuhan antara agama dan politik. Yang terjadi bukan lagi politik menjadi instrumen agama untuk kepentingan masyarakat, tetapi agama menjadi instrumen politik untuk kepentingan politis tertentu.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa fatwa golput merupakan hasil perselingkuhan antara agama dan politik. Namun produk fatwa seperti itu sangat berpotensi disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk meraup keuntungan politis seluas-luasnya. Alih-alih suara umat Islam dapat terwakili, suara tersebut justru dimanfaatkan untuk melegitimasi syahwat politik para elit yang tidak bertanggung jawab.

Fatwa golput mungkin tidak akan menjadi persoalan dan kemudian diperdebatkan, kalau saja semua orang memahami bahwa fatwa dalam teori hukum Islam hanyalah pandangan hukum (legal opinion) seorang ahli yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (binding). Masalahnya, tidak sedikit masyarakat yang menganggap fatwa sebagai syariat yang harus ditaati. Sehingga ketika MUI mengeluarakan fatwa haram untuk golput, sontak sebagian masyarakat kaget dan menganggap MUI melakukan tindakan yang aneh-aneh.

Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kalau tidak menggunakan hak pilih lantas masuk neraka? Padahal, legitimasi haram pada fatwa golput berbeda dengan legitimasi haram pada hukum mencuri. Yang pertama bersumber dari pendapat ahli hukum yang sifatnya tidak mengikat, kecuali pada si pemberi fatwa dan para pengikutnya. Yang kedua bersumber dari Tuhan (kitab suci) yang sifatnya mengikat dan harus ditaati oleh seluruh umat. Siapapun yang melanggar, dianggap telah memesan tiket ke neraka.

Dengan demikian apakah fatwa MUI tersebut keliru? Menurut saya, tidak juga. Namun akan lebih bijaksana kalau dalam soal golput MUI mengeluarkan statemen-statemen yang lebih bersifat seruan moral. Bukan keputusan hukum yang berakhir dengan statemen haram. Yang demikian itu saya kira akan lebih menenteramkan umat dan menghindarkan MUI dari penyalahgunaan institusi keagamaan oleh kelompok politik tertentu. Selain tentu saja akan lebih menjaga marwah para ulama sebagai salah satu benteng moral di negeri kita tercinta. Itu pendapat saya. Wallahu A'lam.

Wednesday, February 04, 2009

Maskulinisme Perempuan Modern

Oleh Dani Muhtada
Suara Merdeka, 4 Februari 2009

KAMPANYE kesetaraan gender yang digalakkan kalangan feminis Indonesia beberapa dekade terakhir telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan wanita.

Masyarakat tidak lagi memandang tabu peran aktif wanita di sektor-sektor publik. Perempuan dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi, perusahaan, pemerintahan, dan wilayah lain. Adalah biasa saat ini jika ada perempuan menjadi lurah, camat, bupati, bahkan presiden.

Namun demikian, gerakan feminisme juga menyisakan beberapa persoalan sosial di banyak negara. Terutama gerakan feminisme yang dikembangkan oleh kaum feminis liberal dan feminis sosialis.

Seperti diketahui, asumsi feminisme tentang ideologi patriarki adalah negatif. Ideologi patriarki dianggap telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat di bawah laki-laki. Karena itu, pada umumnya kaum feminis ingin meruntuhkan struktur patriarkhi, agar tercipta kesetaraan gender.

Penolakan kaum feminis terhadap struktur patriarkhi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok feminisme modern, termasuk di dalamnya kelompok feminisme liberal dan sosialis. Kelompok ini ingin melakukan transformasi sosial secara revolusioner.

Mereka berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Untuk itu, perempuan harus mengadopsi kualitas maskulin, sehingga dapat menempati posisi-posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Apapun pekerjaan laki-laki, perempuan pun harus mampu melakukannya.

Kedua, kelompok feminisme kultural. Kelompok ini ingin melakukan transformsi sosial melalui perubahan-perubahan yang bertahap (evolusioner). Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini menyakini adanya perbedaan-perbedaan biologis yang kemudian menimbulkan kualitas maskulin dan kualitas feminin (kualitas kelelakian dan keperempuanan).

Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarkhi yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarkhi.

Pada kenyataannya, gerakan feminisme ini kemudian banyak menuai kritik. Kelompok feminisme modern misalnya.

Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak perempuan yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik. Tetapi gerakan ini juga mendorong lahirnya manusia jenis ketiga, tidak laki-laki dan tidak perempuan, yakni manusia ’’tiruan laki-laki’’ (male clone). Makhluk tiruan laki-laki ini berjasmani perempuan, tetapi memiliki kualitas-kualitas maskulin, seperti menguasai, ambisius, kompetitif, dan memenuhi kepentingan pribadi. Jauh dari kualitas feminin dengan karakter pengasuh, pasif, dan pemelihara.

Feminisme modern juga dituduh sebagai penghancur tatanan keluarga, karena secara teoritis menganggap bahwa perempuan yang bekerja di sektor domestik (rumah tangga) sebagai wanita yang lemah. Antara tahun 1963 sampai 1975, angka perceraian di Amerika Serikat meningkat sebesar 100% (Skolnicn, 1987).

Mengkhawatirkan

Perhatian dan kesejahteraan anak-anak pun mengkhawatirkan, karena banyaknya perempuan yang memusatkan perhatian pada sektor publik. Di negara-negara Skandinavia, tempat kaum feminis sosialis memperjuangkan ide-idenya, jumlah angka perkawinan menurun, sementara frekuensi kumpul kebo dan perpecahan keluarga semakin meningkat. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar nikah dan angka keluarga ”berorang tua satu” (ibu saja atau ayah saja) menjadi tinggi (David Popenoe, 1988).

Kecenderungan negatif tersebut mendorong munculnya perubahan paradigma di kalangan feminis. Banyak feminis yang kemudian menyadari bahwa masuk ke dalam dunia maskulin tidak serta-merta dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Orientasi gerakan pun diubah. Mereka berpikir bagaimana dengan kualitas femininnya sebagai ibu, pengasuh, dan pemelihara, kaum perempuan dapat mengubah dunia menjadi lebih baik dan damai. Kaum feminis menyebut paradigma baru ini dengan ekofeminisme.

Menurut Ratna Megawangi, teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan terhadap arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi.

Ini tampak pada rusaknya alam, polusi, perkosaan terhadap bumi, menurunnya solidaritas sosial, dan tingginya angka kriminalitas. Kaum ekofeminis memandang dunia terlalu berat pada kualitas maskulin. Sedangkan perhatian pada kualitas feminin seperti cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan, sangat kecil (Megawangi, 2001).

Lunturnya kualitas feminin juga terlihat pada munculnya berbagai persoalan sosial. Fenomena tawuran pelajar, kenakalan remaja, dan masyarakat yang semakin brutal disinyalir erat kaitannya dengan kualitas rumah tangga modern. Ibu dan bapak yang sibuk di luar rumah, kurangnya perhatian pada anak, hilangnya kehangatan keluarga, merupakan sebagian contoh kecenderungan rumah tangga modern. Tidak heran jika dekade 90-an dianggap sebagai masa krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat.

Kaum ekofeminis menuduh perempuan modern telah mentransformasikan dirinya sebagai ”perempuan ekonomi” (economic women), yang terperangkap dalam peradaban pasar. Mereka menjadi egois dan terfokus pada kepentingan dan aktualisasi diri. Perhatian pada pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak menjadi kurang. Kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga menjadi realitas yang langka.

Perhatian agama terhadap hal ini sesungguhnya sangat besar. Idiom ”rumah tanggaku adalah surgaku” yang dikembangkan Nabi Muhammad, sangat dikenal dalam masyarakat muslim. Kamus muslim juga mencatat istilah ’’wanita adalah tiang negara’’. Jika rusak wanita, maka rusak pula negara. Ini sebenarnya menunjukkan pentingnya peran perempuan dalam keluarga.

Karakter-karakter feminin yang melekat dalam diri perempuan membawa pengaruh besar bagi kehidupan keluarga dan masa depan generasi muda. Kondisi positif dalam keluarga dan baiknya pendidikan anak berpengaruh besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena itulah Islam memberikan hak pengasuhan anak kepada ibu, dan bukan kepada bapak. Sebab kualitas feminin, yang umumnya dimiliki para ibu, diyakini lebih baik bagi masa depan anak. Ikatan yang aman dan kuat antara orang tua (terutama ibu) dan anak ketika bayi merupakan prasyarat mutlak agar anak dapat berkembang baik secara sosial dan psikologis. Dalam konteks ini pula, ada pepatah Arab mengatakan “al-ummu madrasatun”, bahwa ibu adalah sekolah bagi putera-puterinya. Jika ibunya baik (baca: kepengasuhannya baik), maka anak-anak akan mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang baik. Jika tidak, sebaliknya pula akibatnya.

Kesetaraan jender yang dikembangkan masyarakat modern perlu memperhatikan kualitas “ibu” tersebut. Sistem patriarki mungkin telah menyebabkan perempuan tereksploitasi, tertindas, dan termarjinalkan. Namun perlu ada cara yang lebih baik untuk menciptakan relasi jender yang lebih berkeadilan, tanpa harus membuat tatanan dunia menjadi beringas. Dan itu bisa didapat dengan cara mengharmonikan kualitas feminin dengan kualitas maskulin. Mengembalikan dunia ibu dalam rumus kesetaraan jender adalah jawabannya.

(Cat: dua alinea terakhir dipotong [tidak muncul] dalam terbitan)