Suara Merdeka, 30 Mei 2008
Oleh Dani Muhtada
AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu memang memprihatinkan. Tidak heran kalau Menteri Agama Maftuh Basyuni mengecamnya sebagai kejahatan besar yang harus dihentikan (SM, 30/4).
Terlepas dari pro-kontra tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah, aksi tersebut sesungguhnya mencerminkan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menyemai inklusivisme beragama di Nusantara. Tulisan kecil ini bermaksud melihat faktor-faktor penyebab kegagalan Islam inklusif di Indonesia, serta prospeknya ke depan.
Gagasan inklusivisme beragama mungkin sudah lama ada. Tetapi pada masa Nurcholish Madjid (Cak Nur), gagasan Islam inklusif gencar disuarakan di Indonesia. Yakni ketika ia menyuarakan tentang perlunya umat beragama lebih melihat pada adanya titik temu (common platform) ketika menghadapi umat beragama lainnya.
Dalam perspektif teologi inklusif, semua agama memiliki titik-titik konvergen yang dapat mengikat keragaman agama-agama. Nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan umum, (maslahah ‘ammah) dan keadilan (‘adl) dapat menjadi ”payung” yang menyatukan umat beragama.
Berbeda dari paralelisme yang menganggap semua agama dan keyakinan sama, inklusivisme dalam beragama memberi ruang berbeda bagi umat beragama. Dengan inklusivisme, seseorang meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya yang benar. Namun dia juga mengakui, tidak tertutup kemungkinan bagi penganut agama lain untuk meyakini hal serupa bagi agamanya.
Dengan demikian, tidak ada monopoli kebenaran. Apalagi bersikap sebagai ”hakim kebenaran” bagi penganut keyakinan lainnya. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga. Tidak menzalimi, tetapi juga tak dizalimi (la darara wa la dirara). Sikap yang demikian memungkinkan satu komunitas dengan beragam keyakinan bisa hidup berdampingan tanpa prasangka (unity in diversity).
Sikap keagamaan seperti inilah yang diusung para pendukung Islam inklusif di Indonesia sejak dekade 1980-an, baik yang dilakukan secara sistematis-organisatoris (seperti dilakukan Paramadina, Jaringan Islam Liberal, dan CMM) maupun yang dilakukan secara sporadis-individual (melalui penulisan buku, makalah, dan artikel di media massa).
Sayangnya, fenomena keagamaan yang terjadi belakangan di Indonesia membuktikan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menanamkan ide-idenya. Pada saat yang sama, fenomena eksklusivisme di beberapa kelompok Islam Indonesia makin menguat. Aksi pembakaran masjid Ahmadiyyah di Sukabumi merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari eksklusivisme yang makin menguat itu.
Faktor Kegagalan
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan gerakan Islam inklusif di Indonesia. Pertama, kelompok Islam inklusif tak mampu mendapatkan citra positif di kalangan bawah. Salah satunya disebabkan sebagian pendukung Islam inklusif juga senang mengutik-atik isu sensitif dalam Islam, yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap doktrinal.
Misalnya isu perkawinan beda agama, relasi seksual sesama jenis, perempuan sebagai imam sholat, dan lain-lain. Akibatnya, alih-alih beroleh simpati, kelompok Islam inklusif ini lebih sering dianggap menodai Islam.
Kedua, ”dakwah” gerakan Islam inklusif tidak membumi. Kelompok ini lebih cenderung berwacana di tingkat elite, tetapi gagal melakukan kultivasi ide di akar rumput. Tidak heran jika gagasan-gagasan Islam inklusif lebih sering disalahpahami daripada dimengerti.
Misalnya, ajakan untuk bersikap terbuka terhadap agama lain dianggap sebagai ajakan menyamakan semua agama. Ini masih ditambah dengan kampanye hitam beberapa kelompok yang menuduh Islam inklusif bergerak atas pesan sponsor (baca: Barat). Walhasil, citra Islam inklusif makin buruk dan upayanya dalam menyebarluaskan gagasan menjadi tidak efektif.
Ketiga, menghilangnya beberapa tokoh sentral pendukung Islam inklusif dari peta gerakan Islam Indonesia. Di antara mereka ada yang meninggal dunia (misal Nurcholish Madjid), terlibat politik praktis (Abdurrahman Wahid, Alwi Shihab), maupun sekolah keluar negeri (Sukidi, Ulil Abshar). Absennya tokoh-tokoh ini sedikit banyak mengurangi pengaruh gerakan Islam inklusif, dan pada saat yang sama menguatkan pengaruh gerakan Islam eksklusif di Indonesia.
Islam Inklusif ke Depan
Menimbang faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pendukung gagasan Islam inklusif. Yang pertama, membangun citra yang lebih positif tentang Islam inklusif, terutama di tingkat akar rumput. Termasuk dalam pengertian ini adalah mengecilkan volume suara untuk isu-isu sensitif dan membesarkan volume suara bagi pentingnya berteologi secara inklusif.
Lebih penting lagi adalah membenahi salah kaprah tentang inklusivisme. Terutama pandangan bahwa Islam inklusif mempromosikan semua agama sama. Sebab, pandangan yang salah kaprah seperti ini tentu berakibat sangat fatal bagi masa depan Islam Inklusif di Indonesia.
Kedua, disseminasi ide harus lebih membumi. Berwacana di koran atau buku saja tidak cukup. Perlu aksi-aksi yang lebih nyata dan efektif untuk menanamkan gagasan-gagasan inklusif. Training atau pelatihan model partisipatoris sangat baik dilakukan. Ini penting, tidak hanya untuk menjelaskan pentingnya beragama secara inklusif, tapi juga mengurai berbagai salah paham tentang Islam inklusif.
Agar kultivasi ide bisa lebih luas, pelatihan model partisipatoris itu bisa diperuntukkan untuk para agamawan dan tokoh masyarakat di tingkat lokal.Dengan paternalisme yang masih kuat, diharapkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam inklusif di kalangan tokoh lokal juga akan memengaruhi sikap masyarakat umum terhadap ide Islam inklusif.
Ketiga, eksistensi Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar tidak bisa diabaikan. Kalau kedua ormas ini tidak menunjukkan dukungannya terhadap inklusivisme dalam beragama, maka upaya membumikan Islam inklusif tidak akan efektif. Syukur jika elite kedua ormas ini memiliki perhatian khusus pada inklusivisme. Seperti ketika Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU dan Ahmad Syafii Maarif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.
Namun dukungan tokoh elite saja tak cukup, tanpa dukungan tokoh-tokoh lokal. Faktanya, dukungan yang diberikan elite Muhammadiyah atau NU seringkali tidak bergayung sambut di kalangan bawah. Penyebabnya, ada kesenjangan konsep dalam melihat sebuah persoalan.
Ini kembali mengisyaratkan bahwa membumikan gagasan Islam inklusif di akar rumput jauh lebih penting daripada hanya berwacana di koran-koran. Apalagi efek eksklusivisme beragama lebih dirasakan para penganut keyakinan di tingkat akar rumput daripada di tingkat elite. Kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi menjadi bukti nyata paling mutakhir.
Demikianlah, jika ingin Islam inklusif lebih diterima masyarakat dan menjadi mainstream Islam di Indonesia, maka para penyokongnya harus lebih memperhatikan beberapa hal di atas. Kalau tidak, bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa gagasan Islam inklusif hanya akan menjadi bacaan kaum terpelajar, tanpa efek sosial yang berarti. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment