Oleh Dani Muhtada
Suara Merdeka, 15 Agustus 2008
KEMERDEKAAN memiliki beragam makna. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno tidak secara eksplisit menerangkan apa makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Ketika Soekarno menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, tentu yang dimaksudnya adalah kemerdekaan dari penjajahan Jepang.
Tetapi apa makna kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia merupakan tugas para generasi setelahnya untuk menjawabnya. Karena itu, dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati.
Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran. Dalam kitab suci ini ditunjukkan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat mengilhami kita, bagaimana seharusnya menjadi bangsa merdeka di era globalisasi.
Pertama, makna kemerdekaan dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim ketika ia membebaskan dirinya dari orientasi asasi yang keliru dalam kehidupan manusia. Dalam Surat Al-An’am Ayat 76-79 dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan.
Pencarian spiritual tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya.
Seperti diketahui, masyarakat Ibrahim saat itu menyembah berhala. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.
Bentuk penghambaan yang menjatuhkan harkat-martabat manusia seperti itu juga terjadi pada era modern. Penghambaan terhadap materialisme dan hedonisme telah mengantarkan manusia modern untuk melakukan korupsi tanpa perasaan bersalah, mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi dan posisi, dan seterusnya.
Penghambaan-penghambaan yang demikian bukan hanya melukai harkat-martabat manusia, namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hakikatnya menjadi tujuan dari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.
Kedua, makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap bangsa Israel dikisahkan dalam berbagai ayat Alquran. Rezim Firaun merupakan representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka bumi (mustakbirun fi al-ardh).
Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat (QS Al-A’raaf:127, Al-Baqarah:49, dan Ibrahim:6).
Mengakhiri Keangkuhan
Seperti halnya kisah sukses Nabi Musa, Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Sebuah keangkuhan yang membuat bangsa kita miskin dan terhina selama ratusan tahun.
Namun jangan lupa, berakhirnya keangkuhan dan penindasan rezim kolonial tidak serta merta membebaskan rakyat Indonesia dari keangkuhan dan penindasan rezim lain dalam bentuk yang berbeda.
Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.
Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata.
Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka.
Bangsa yang merdeka, namun sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, bukan pula bangsa yang merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi (QS Al-Maa’idah:3) menjadi sumber ilham yang tak pernah habis bagi bangsa Indonesia untuk memaknai kemerdekaan secara lebih holistik dan integral.
Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.
Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh masyarakat Arab Quraisy. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan ‘’tuhan-tuhan’’ yang menurunkan harkat dan derajat manusia (QS Luqman:13; Yusuf:108; Adz-Dzaariyaat:56; Al-Jumu’ah:2).
Penindasan ekonomi itu dilukiskan Alquran sebagai sesuatu yang membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja (QS Al-Hasyr:7). Rasulullah mengkritik orang-orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa memedulikan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah:1-4; Al-Maa’uun:2-3).
Rasulullah mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah terakhirnya di Arafah, saat haji wadaĆ, beliau menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara hitam dan putih, antara Arab dan non-Arab.
Semuanya sama di mata Tuhan. Tidak ada celah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali tingkat ketakwaan mereka kepada Tuhan-Nya (QS Al-Hujuraat:13).
Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia mampu memaknai kemerdekaannya seperti yang diilhamkan Alquran. Rakyat merasakan kemerdekaan ekonominya dan meraih kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi penghisapan ekonomi, baik oleh oknum pribumi maupun pihak asing.
Seluruh warganegara Indonesia sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada lagi tawar menawar hukum dan perlakuan istimewa bagi kaum berduit dalam proses peradilan. Bagi kelompok difabel, tak ada lagi perbedaan untuk memeroleh akses ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.
Kemerdekaan tidak hanya dirasakan oleh manusia-manusia Indonesia di Jawa, namun juga manusia-manusia Indonesia di Aceh, pedalaman Irian Jaya, serta pulau-pulau terpencil. Manusia Indonesia di wilayah-wilayah ini harus dapat merasakan kemerdekaan yang ikhlas dan sejati, bukan kemerdekaan yang terpaksa dan semu, seperti yang mungkin mereka rasakan pada zaman Orde Baru. Dirgahayu Republik Indonesia!
Friday, August 15, 2008
Friday, June 13, 2008
Tauhid dan Tantangan Globalisasi
Oleh Dani Muhtada
Diterbitkan dalam Buletin "Al-Hikmah"
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Magelang
Edisi 19; 13 Juni 2008
Tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Secara etimologi, tauhid berasal dari bahasa Arab “wahhada-yuwahhidu” yang berarti mengesakan. Secara terminologi, tauhid berarti mengesakan Allah SWT baik dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya (Yunahar Ilyas, 2007. h. 18).
Teori ilmu kalan (teologi Islam) membagi tauhid menjadi tiga. Pertama, tauhid rububiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki bagi semua makhluk di alam semesta. Dalam QS. Fathir (35): 3, Allah SWT berfirman: “Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Adakah pencipta lain selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan yang berhak disembah) kecuali Dia. Maka mengapa kamu berpaling (dari mengesakan-Nya)?”
Kedua, tauhid mulkiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa alam semesta. Tauhid milkiyyah ini menekankan eksistensi manusia sebagai hamba (mamluki) dari Yang Maha Raja, sehingga manusia harus senantiasa tunduk taat dan kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Ketiga, tauhid ilahiyyah, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh segenap makhluk di alam raya. Termasuk dalam pengertian ini adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satuanya pelindung sejati bagi semua makhluk. Allah SWT berfirman dalam QS. Thaha (20): 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Ketiga jenis tauhid ini merupakan satu kesatuan keyakinan yang tak terpisahkan dan wajib diterapkan oleh kaum beriman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang mengaku percaya kepada Allah SWT, maka pada saat yang sama ia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, penguasa, pelindung dan Tuhan yang berhak disembah di alam semesta ini.
Bertauhid di Era Globalisasi
Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya praktik-praktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam ketika itu melakukan kegiatan-kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara jimat, dll. Praktik-praktik seperti inilah yang dahulu coba diberantas oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan.
Agak berbeda dengan hal tersebut di atas, tantangan tauhid di abad 21 lebih komples. Era globalisasi yang dialami manusia modern menciptakan tuhan-tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia dipersatukan dalam sebuah komunitas tunggal, baik secara ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik. Dalam globalisasi, batas-batas teritorial antarnegara memang masih ada, namun sudah tidak lagi signifikan untuk memisahkan koneksitas kehidupan yang ada di dalamnya. Jarak, ruang dan waktu menjadi tidak lagi memisahkan komunikasi manusia-manusia di belahan bumi berbeda. Ini artinya, apa yang terjadi di satu belahan bumi dapat segera didengar, diketahui, bahkan mempengaruhi belahan bumi yang lain.
Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek positif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangan-tantangan yang justru dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum beriman. Salah satu di antara tantangan globalisasi adalah materialisme.
Tidak dapat dipungkiri, materialisme kini menjadi salah satu “tuhan” yang disembah oleh manusia-manusia modern. Nilai-nilai spiritual terabaikan, sementara prestasi-prestasi material menjadi berhala-berhala baru. Di Indonesia, materialisme bahkan menjadi orientasi pembangunan selama bertahun-tahun. Orientasi yang materialistik ini menjadikan segala bentuk keberhasilan diukur dari angka-angka. Akibatnya, kerja keras yang telah kita pertaruhkan selama beberapa dekade nyaris berbuah nihilisme. Apa yang dikejar-kejar bangsa kita ternyata sekedar kesemuan. Tidak hanya dalam proyek-proyek pembangunan fisik, tapi juga proyek-proyek pembangunan nonfisik.
Di dunia pendidikan misalnya, siswa-siswa kita diperas energinya siang malam untuk sebuah “angka”. Kerja keras para guru dan orang tua dalam bentuk les-les tambahan di luar sekolah menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Orientasi belajar anak diarahkan pada perolehan target-target formal. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan pengerdilan potensi kemanusiaan. Bangsa kita sedang bekerja keras mencetak robot-robot masa depan “zonder” nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan kita ikut-ikutan hanya pada dataran formal. Asal sudah “berbau” agama, seakan sudah dianggap religius. Tidak ada implikasi keagamaan dalam realitas sosial. Pelajaran agama di sekolah-sekolah berorientasi pada aspek-aspek kognitif. Sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat penekanan. Polanya cenderung mengacu pada transfer pengetahuan, dan bukan pengamalan.
Rapuhnya struktur sosial bangsa kita saat ini merupakan buah dari target-target materialisme itu. Sopan santun hilang, etika melayang, dan kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat pada orang tua dan guru menjadi barang langka. Tawuran antarpelajar menjadi tontonan gratis di jalan-jalan. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan hukum tinggal kenangan. Perampokan, penjarahan, dan penipuan tidak cuma dilakukan masyarakat lapisan bawah, tapi juga oleh kelompok manusia berdasi.
Di sisi lain, sekularisme menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Ibadah ditegakkan, namun kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Tidak heran, kendati jumlah jamaah haji terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun praktik korupsi pun bak cendawan di musim hujan.
Orientasi-orientasi materialisme–sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Menghamba kepada kepentingan ekonomi, kekuasaan, prestise, dan kepentingan-kepentingan lain yang berlandaskan hawa nafsu. Allah SWT menyindir dalam QS. Jatsiyah: 23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Karena itu, pemurnian tauhid di tengah arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Setiap penghambaan terhadap “tuhan-tuhan” materi perlu segera dibersihkan dari lubuk hati kaum beriman. Dan Allah SWT harus dijadikan sebagai satu-satunya orientasi kehidupan yang sejati, karena Dia adalah satu-satunya Pencipta dan Harapan (tauhid rububiyyah), satu-satunya Pemilik dan Penguasa alam raya (tauhid mulkiyyah), dan satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh manusia dan seluruh makhluk di alam semesta (tauhid uluhiyyah). Wallahu A’lam.
Diterbitkan dalam Buletin "Al-Hikmah"
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Magelang
Edisi 19; 13 Juni 2008
Tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Secara etimologi, tauhid berasal dari bahasa Arab “wahhada-yuwahhidu” yang berarti mengesakan. Secara terminologi, tauhid berarti mengesakan Allah SWT baik dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya (Yunahar Ilyas, 2007. h. 18).
Teori ilmu kalan (teologi Islam) membagi tauhid menjadi tiga. Pertama, tauhid rububiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki bagi semua makhluk di alam semesta. Dalam QS. Fathir (35): 3, Allah SWT berfirman: “Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Adakah pencipta lain selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan yang berhak disembah) kecuali Dia. Maka mengapa kamu berpaling (dari mengesakan-Nya)?”
Kedua, tauhid mulkiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa alam semesta. Tauhid milkiyyah ini menekankan eksistensi manusia sebagai hamba (mamluki) dari Yang Maha Raja, sehingga manusia harus senantiasa tunduk taat dan kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Ketiga, tauhid ilahiyyah, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh segenap makhluk di alam raya. Termasuk dalam pengertian ini adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satuanya pelindung sejati bagi semua makhluk. Allah SWT berfirman dalam QS. Thaha (20): 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Ketiga jenis tauhid ini merupakan satu kesatuan keyakinan yang tak terpisahkan dan wajib diterapkan oleh kaum beriman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang mengaku percaya kepada Allah SWT, maka pada saat yang sama ia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, penguasa, pelindung dan Tuhan yang berhak disembah di alam semesta ini.
Bertauhid di Era Globalisasi
Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya praktik-praktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam ketika itu melakukan kegiatan-kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara jimat, dll. Praktik-praktik seperti inilah yang dahulu coba diberantas oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan.
Agak berbeda dengan hal tersebut di atas, tantangan tauhid di abad 21 lebih komples. Era globalisasi yang dialami manusia modern menciptakan tuhan-tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia dipersatukan dalam sebuah komunitas tunggal, baik secara ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik. Dalam globalisasi, batas-batas teritorial antarnegara memang masih ada, namun sudah tidak lagi signifikan untuk memisahkan koneksitas kehidupan yang ada di dalamnya. Jarak, ruang dan waktu menjadi tidak lagi memisahkan komunikasi manusia-manusia di belahan bumi berbeda. Ini artinya, apa yang terjadi di satu belahan bumi dapat segera didengar, diketahui, bahkan mempengaruhi belahan bumi yang lain.
Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek positif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangan-tantangan yang justru dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum beriman. Salah satu di antara tantangan globalisasi adalah materialisme.
Tidak dapat dipungkiri, materialisme kini menjadi salah satu “tuhan” yang disembah oleh manusia-manusia modern. Nilai-nilai spiritual terabaikan, sementara prestasi-prestasi material menjadi berhala-berhala baru. Di Indonesia, materialisme bahkan menjadi orientasi pembangunan selama bertahun-tahun. Orientasi yang materialistik ini menjadikan segala bentuk keberhasilan diukur dari angka-angka. Akibatnya, kerja keras yang telah kita pertaruhkan selama beberapa dekade nyaris berbuah nihilisme. Apa yang dikejar-kejar bangsa kita ternyata sekedar kesemuan. Tidak hanya dalam proyek-proyek pembangunan fisik, tapi juga proyek-proyek pembangunan nonfisik.
Di dunia pendidikan misalnya, siswa-siswa kita diperas energinya siang malam untuk sebuah “angka”. Kerja keras para guru dan orang tua dalam bentuk les-les tambahan di luar sekolah menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Orientasi belajar anak diarahkan pada perolehan target-target formal. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan pengerdilan potensi kemanusiaan. Bangsa kita sedang bekerja keras mencetak robot-robot masa depan “zonder” nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan kita ikut-ikutan hanya pada dataran formal. Asal sudah “berbau” agama, seakan sudah dianggap religius. Tidak ada implikasi keagamaan dalam realitas sosial. Pelajaran agama di sekolah-sekolah berorientasi pada aspek-aspek kognitif. Sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat penekanan. Polanya cenderung mengacu pada transfer pengetahuan, dan bukan pengamalan.
Rapuhnya struktur sosial bangsa kita saat ini merupakan buah dari target-target materialisme itu. Sopan santun hilang, etika melayang, dan kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat pada orang tua dan guru menjadi barang langka. Tawuran antarpelajar menjadi tontonan gratis di jalan-jalan. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan hukum tinggal kenangan. Perampokan, penjarahan, dan penipuan tidak cuma dilakukan masyarakat lapisan bawah, tapi juga oleh kelompok manusia berdasi.
Di sisi lain, sekularisme menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Ibadah ditegakkan, namun kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Tidak heran, kendati jumlah jamaah haji terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun praktik korupsi pun bak cendawan di musim hujan.
Orientasi-orientasi materialisme–sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Menghamba kepada kepentingan ekonomi, kekuasaan, prestise, dan kepentingan-kepentingan lain yang berlandaskan hawa nafsu. Allah SWT menyindir dalam QS. Jatsiyah: 23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Karena itu, pemurnian tauhid di tengah arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Setiap penghambaan terhadap “tuhan-tuhan” materi perlu segera dibersihkan dari lubuk hati kaum beriman. Dan Allah SWT harus dijadikan sebagai satu-satunya orientasi kehidupan yang sejati, karena Dia adalah satu-satunya Pencipta dan Harapan (tauhid rububiyyah), satu-satunya Pemilik dan Penguasa alam raya (tauhid mulkiyyah), dan satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh manusia dan seluruh makhluk di alam semesta (tauhid uluhiyyah). Wallahu A’lam.
Friday, May 30, 2008
Kegagalan Gerakan Islam Inklusif
Suara Merdeka, 30 Mei 2008
Oleh Dani Muhtada
AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu memang memprihatinkan. Tidak heran kalau Menteri Agama Maftuh Basyuni mengecamnya sebagai kejahatan besar yang harus dihentikan (SM, 30/4).
Terlepas dari pro-kontra tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah, aksi tersebut sesungguhnya mencerminkan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menyemai inklusivisme beragama di Nusantara. Tulisan kecil ini bermaksud melihat faktor-faktor penyebab kegagalan Islam inklusif di Indonesia, serta prospeknya ke depan.
Gagasan inklusivisme beragama mungkin sudah lama ada. Tetapi pada masa Nurcholish Madjid (Cak Nur), gagasan Islam inklusif gencar disuarakan di Indonesia. Yakni ketika ia menyuarakan tentang perlunya umat beragama lebih melihat pada adanya titik temu (common platform) ketika menghadapi umat beragama lainnya.
Dalam perspektif teologi inklusif, semua agama memiliki titik-titik konvergen yang dapat mengikat keragaman agama-agama. Nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan umum, (maslahah ‘ammah) dan keadilan (‘adl) dapat menjadi ”payung” yang menyatukan umat beragama.
Berbeda dari paralelisme yang menganggap semua agama dan keyakinan sama, inklusivisme dalam beragama memberi ruang berbeda bagi umat beragama. Dengan inklusivisme, seseorang meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya yang benar. Namun dia juga mengakui, tidak tertutup kemungkinan bagi penganut agama lain untuk meyakini hal serupa bagi agamanya.
Dengan demikian, tidak ada monopoli kebenaran. Apalagi bersikap sebagai ”hakim kebenaran” bagi penganut keyakinan lainnya. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga. Tidak menzalimi, tetapi juga tak dizalimi (la darara wa la dirara). Sikap yang demikian memungkinkan satu komunitas dengan beragam keyakinan bisa hidup berdampingan tanpa prasangka (unity in diversity).
Sikap keagamaan seperti inilah yang diusung para pendukung Islam inklusif di Indonesia sejak dekade 1980-an, baik yang dilakukan secara sistematis-organisatoris (seperti dilakukan Paramadina, Jaringan Islam Liberal, dan CMM) maupun yang dilakukan secara sporadis-individual (melalui penulisan buku, makalah, dan artikel di media massa).
Sayangnya, fenomena keagamaan yang terjadi belakangan di Indonesia membuktikan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menanamkan ide-idenya. Pada saat yang sama, fenomena eksklusivisme di beberapa kelompok Islam Indonesia makin menguat. Aksi pembakaran masjid Ahmadiyyah di Sukabumi merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari eksklusivisme yang makin menguat itu.
Faktor Kegagalan
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan gerakan Islam inklusif di Indonesia. Pertama, kelompok Islam inklusif tak mampu mendapatkan citra positif di kalangan bawah. Salah satunya disebabkan sebagian pendukung Islam inklusif juga senang mengutik-atik isu sensitif dalam Islam, yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap doktrinal.
Misalnya isu perkawinan beda agama, relasi seksual sesama jenis, perempuan sebagai imam sholat, dan lain-lain. Akibatnya, alih-alih beroleh simpati, kelompok Islam inklusif ini lebih sering dianggap menodai Islam.
Kedua, ”dakwah” gerakan Islam inklusif tidak membumi. Kelompok ini lebih cenderung berwacana di tingkat elite, tetapi gagal melakukan kultivasi ide di akar rumput. Tidak heran jika gagasan-gagasan Islam inklusif lebih sering disalahpahami daripada dimengerti.
Misalnya, ajakan untuk bersikap terbuka terhadap agama lain dianggap sebagai ajakan menyamakan semua agama. Ini masih ditambah dengan kampanye hitam beberapa kelompok yang menuduh Islam inklusif bergerak atas pesan sponsor (baca: Barat). Walhasil, citra Islam inklusif makin buruk dan upayanya dalam menyebarluaskan gagasan menjadi tidak efektif.
Ketiga, menghilangnya beberapa tokoh sentral pendukung Islam inklusif dari peta gerakan Islam Indonesia. Di antara mereka ada yang meninggal dunia (misal Nurcholish Madjid), terlibat politik praktis (Abdurrahman Wahid, Alwi Shihab), maupun sekolah keluar negeri (Sukidi, Ulil Abshar). Absennya tokoh-tokoh ini sedikit banyak mengurangi pengaruh gerakan Islam inklusif, dan pada saat yang sama menguatkan pengaruh gerakan Islam eksklusif di Indonesia.
Islam Inklusif ke Depan
Menimbang faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pendukung gagasan Islam inklusif. Yang pertama, membangun citra yang lebih positif tentang Islam inklusif, terutama di tingkat akar rumput. Termasuk dalam pengertian ini adalah mengecilkan volume suara untuk isu-isu sensitif dan membesarkan volume suara bagi pentingnya berteologi secara inklusif.
Lebih penting lagi adalah membenahi salah kaprah tentang inklusivisme. Terutama pandangan bahwa Islam inklusif mempromosikan semua agama sama. Sebab, pandangan yang salah kaprah seperti ini tentu berakibat sangat fatal bagi masa depan Islam Inklusif di Indonesia.
Kedua, disseminasi ide harus lebih membumi. Berwacana di koran atau buku saja tidak cukup. Perlu aksi-aksi yang lebih nyata dan efektif untuk menanamkan gagasan-gagasan inklusif. Training atau pelatihan model partisipatoris sangat baik dilakukan. Ini penting, tidak hanya untuk menjelaskan pentingnya beragama secara inklusif, tapi juga mengurai berbagai salah paham tentang Islam inklusif.
Agar kultivasi ide bisa lebih luas, pelatihan model partisipatoris itu bisa diperuntukkan untuk para agamawan dan tokoh masyarakat di tingkat lokal.Dengan paternalisme yang masih kuat, diharapkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam inklusif di kalangan tokoh lokal juga akan memengaruhi sikap masyarakat umum terhadap ide Islam inklusif.
Ketiga, eksistensi Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar tidak bisa diabaikan. Kalau kedua ormas ini tidak menunjukkan dukungannya terhadap inklusivisme dalam beragama, maka upaya membumikan Islam inklusif tidak akan efektif. Syukur jika elite kedua ormas ini memiliki perhatian khusus pada inklusivisme. Seperti ketika Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU dan Ahmad Syafii Maarif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.
Namun dukungan tokoh elite saja tak cukup, tanpa dukungan tokoh-tokoh lokal. Faktanya, dukungan yang diberikan elite Muhammadiyah atau NU seringkali tidak bergayung sambut di kalangan bawah. Penyebabnya, ada kesenjangan konsep dalam melihat sebuah persoalan.
Ini kembali mengisyaratkan bahwa membumikan gagasan Islam inklusif di akar rumput jauh lebih penting daripada hanya berwacana di koran-koran. Apalagi efek eksklusivisme beragama lebih dirasakan para penganut keyakinan di tingkat akar rumput daripada di tingkat elite. Kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi menjadi bukti nyata paling mutakhir.
Demikianlah, jika ingin Islam inklusif lebih diterima masyarakat dan menjadi mainstream Islam di Indonesia, maka para penyokongnya harus lebih memperhatikan beberapa hal di atas. Kalau tidak, bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa gagasan Islam inklusif hanya akan menjadi bacaan kaum terpelajar, tanpa efek sosial yang berarti. Wallahu a’lam.
Oleh Dani Muhtada
AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu memang memprihatinkan. Tidak heran kalau Menteri Agama Maftuh Basyuni mengecamnya sebagai kejahatan besar yang harus dihentikan (SM, 30/4).
Terlepas dari pro-kontra tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah, aksi tersebut sesungguhnya mencerminkan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menyemai inklusivisme beragama di Nusantara. Tulisan kecil ini bermaksud melihat faktor-faktor penyebab kegagalan Islam inklusif di Indonesia, serta prospeknya ke depan.
Gagasan inklusivisme beragama mungkin sudah lama ada. Tetapi pada masa Nurcholish Madjid (Cak Nur), gagasan Islam inklusif gencar disuarakan di Indonesia. Yakni ketika ia menyuarakan tentang perlunya umat beragama lebih melihat pada adanya titik temu (common platform) ketika menghadapi umat beragama lainnya.
Dalam perspektif teologi inklusif, semua agama memiliki titik-titik konvergen yang dapat mengikat keragaman agama-agama. Nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan umum, (maslahah ‘ammah) dan keadilan (‘adl) dapat menjadi ”payung” yang menyatukan umat beragama.
Berbeda dari paralelisme yang menganggap semua agama dan keyakinan sama, inklusivisme dalam beragama memberi ruang berbeda bagi umat beragama. Dengan inklusivisme, seseorang meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya yang benar. Namun dia juga mengakui, tidak tertutup kemungkinan bagi penganut agama lain untuk meyakini hal serupa bagi agamanya.
Dengan demikian, tidak ada monopoli kebenaran. Apalagi bersikap sebagai ”hakim kebenaran” bagi penganut keyakinan lainnya. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga. Tidak menzalimi, tetapi juga tak dizalimi (la darara wa la dirara). Sikap yang demikian memungkinkan satu komunitas dengan beragam keyakinan bisa hidup berdampingan tanpa prasangka (unity in diversity).
Sikap keagamaan seperti inilah yang diusung para pendukung Islam inklusif di Indonesia sejak dekade 1980-an, baik yang dilakukan secara sistematis-organisatoris (seperti dilakukan Paramadina, Jaringan Islam Liberal, dan CMM) maupun yang dilakukan secara sporadis-individual (melalui penulisan buku, makalah, dan artikel di media massa).
Sayangnya, fenomena keagamaan yang terjadi belakangan di Indonesia membuktikan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menanamkan ide-idenya. Pada saat yang sama, fenomena eksklusivisme di beberapa kelompok Islam Indonesia makin menguat. Aksi pembakaran masjid Ahmadiyyah di Sukabumi merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari eksklusivisme yang makin menguat itu.
Faktor Kegagalan
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan gerakan Islam inklusif di Indonesia. Pertama, kelompok Islam inklusif tak mampu mendapatkan citra positif di kalangan bawah. Salah satunya disebabkan sebagian pendukung Islam inklusif juga senang mengutik-atik isu sensitif dalam Islam, yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap doktrinal.
Misalnya isu perkawinan beda agama, relasi seksual sesama jenis, perempuan sebagai imam sholat, dan lain-lain. Akibatnya, alih-alih beroleh simpati, kelompok Islam inklusif ini lebih sering dianggap menodai Islam.
Kedua, ”dakwah” gerakan Islam inklusif tidak membumi. Kelompok ini lebih cenderung berwacana di tingkat elite, tetapi gagal melakukan kultivasi ide di akar rumput. Tidak heran jika gagasan-gagasan Islam inklusif lebih sering disalahpahami daripada dimengerti.
Misalnya, ajakan untuk bersikap terbuka terhadap agama lain dianggap sebagai ajakan menyamakan semua agama. Ini masih ditambah dengan kampanye hitam beberapa kelompok yang menuduh Islam inklusif bergerak atas pesan sponsor (baca: Barat). Walhasil, citra Islam inklusif makin buruk dan upayanya dalam menyebarluaskan gagasan menjadi tidak efektif.
Ketiga, menghilangnya beberapa tokoh sentral pendukung Islam inklusif dari peta gerakan Islam Indonesia. Di antara mereka ada yang meninggal dunia (misal Nurcholish Madjid), terlibat politik praktis (Abdurrahman Wahid, Alwi Shihab), maupun sekolah keluar negeri (Sukidi, Ulil Abshar). Absennya tokoh-tokoh ini sedikit banyak mengurangi pengaruh gerakan Islam inklusif, dan pada saat yang sama menguatkan pengaruh gerakan Islam eksklusif di Indonesia.
Islam Inklusif ke Depan
Menimbang faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pendukung gagasan Islam inklusif. Yang pertama, membangun citra yang lebih positif tentang Islam inklusif, terutama di tingkat akar rumput. Termasuk dalam pengertian ini adalah mengecilkan volume suara untuk isu-isu sensitif dan membesarkan volume suara bagi pentingnya berteologi secara inklusif.
Lebih penting lagi adalah membenahi salah kaprah tentang inklusivisme. Terutama pandangan bahwa Islam inklusif mempromosikan semua agama sama. Sebab, pandangan yang salah kaprah seperti ini tentu berakibat sangat fatal bagi masa depan Islam Inklusif di Indonesia.
Kedua, disseminasi ide harus lebih membumi. Berwacana di koran atau buku saja tidak cukup. Perlu aksi-aksi yang lebih nyata dan efektif untuk menanamkan gagasan-gagasan inklusif. Training atau pelatihan model partisipatoris sangat baik dilakukan. Ini penting, tidak hanya untuk menjelaskan pentingnya beragama secara inklusif, tapi juga mengurai berbagai salah paham tentang Islam inklusif.
Agar kultivasi ide bisa lebih luas, pelatihan model partisipatoris itu bisa diperuntukkan untuk para agamawan dan tokoh masyarakat di tingkat lokal.Dengan paternalisme yang masih kuat, diharapkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam inklusif di kalangan tokoh lokal juga akan memengaruhi sikap masyarakat umum terhadap ide Islam inklusif.
Ketiga, eksistensi Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar tidak bisa diabaikan. Kalau kedua ormas ini tidak menunjukkan dukungannya terhadap inklusivisme dalam beragama, maka upaya membumikan Islam inklusif tidak akan efektif. Syukur jika elite kedua ormas ini memiliki perhatian khusus pada inklusivisme. Seperti ketika Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU dan Ahmad Syafii Maarif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.
Namun dukungan tokoh elite saja tak cukup, tanpa dukungan tokoh-tokoh lokal. Faktanya, dukungan yang diberikan elite Muhammadiyah atau NU seringkali tidak bergayung sambut di kalangan bawah. Penyebabnya, ada kesenjangan konsep dalam melihat sebuah persoalan.
Ini kembali mengisyaratkan bahwa membumikan gagasan Islam inklusif di akar rumput jauh lebih penting daripada hanya berwacana di koran-koran. Apalagi efek eksklusivisme beragama lebih dirasakan para penganut keyakinan di tingkat akar rumput daripada di tingkat elite. Kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi menjadi bukti nyata paling mutakhir.
Demikianlah, jika ingin Islam inklusif lebih diterima masyarakat dan menjadi mainstream Islam di Indonesia, maka para penyokongnya harus lebih memperhatikan beberapa hal di atas. Kalau tidak, bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa gagasan Islam inklusif hanya akan menjadi bacaan kaum terpelajar, tanpa efek sosial yang berarti. Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)