Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 1 Februari 2002
Akhir bulan lalu, Departemen Agama menyelenggarakan test seleksi calon pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama. Seleksi tersebut diperuntukkan antara lain untuk formasi dosen, guru, panitera pengganti, pegawai pencatat nikah, penyuluh agama, dan beberapa jenis kepegawaian lain di lingkungan Departemen Agama.
Ada satu hal yang menarik dari proses pendaftaran seleksi CPNS tersebut, terutama jika dilihat dalam pespektif jender. Nyaris semua loket formasi CPNS dipenuhi oleh para pendaftar, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi tidak demikian halnya dengan loket untuk formasi CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah). Loket yang satu ini tidak dipenuhi oleh pendaftar perempuan. Nyaris tak satu pun pendaftar perempuan yang terlihat memasukkan berkas-berkas lamaran pada loket ini. Celakanya, di salah satu tempat pendaftaran di Jawa Timur, untuk tidak mengatakan adanya kemungkinan yang sama di tempat lain, pada loket CPPN tersebut tertulis “khusus laki-laki”. Itu artinya, pendaftar perempuan tidak diperkenankan memasukkan berkas lamarannya untuk formasi yang satu ini. Lantas, apa yang salah pada perempuan, sehingga untuk menjadi pegawai pencatat nikah pun mereka tidak diberi kesempatan ?
Hukum Islam dan Isu Jender
Seperti juga terjadi pada agama-agama lain, penafsiran terhadap ajaran Islam rentan dengan interpretasi yang bias jender. Beberapa ketentuan mengenai perkawinan, waris, persaksian, dan kepala pemerintahan adalah contoh aspek-aspek dalam ajaran Islam yang sering diperdebatkan oleh ahli hukum Islam. Sebabnya adalah karena di dalam aspek-aspek tersebut masih ada ruang untuk interpretasi. Hukum Islam sendiri (atau lebih dikenal dengan nama fiqh) merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang sarat dengan perbedaan dan perdebatan. Itulah yang disebut orang dengan persoalan khilafiyah, yang di Indonesia kadang-kadang direpresentasikan melalui simbolisasi NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Nusantara.
Untuk isu jender dalam perkawinan, para feminis muslim biasanya mempersoalkan ketentuan-ketentuan fiqh mengenai poligami, masa tunggu pasca cerai (iddah), dan perwalian. Dalam perwalian, hampir dapat dipastikan bahwa semua kitab fiqh klasik mencantumkan syarat laki-laki bagi seorang wali nikah. Perempuan tidak diperkenankan menjadi wali nikah dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Sekali lagi, ketentuan ini sesungguhnya masih sangat layak diperdebatkan, karena berkaitan dengan wilayah-wilayah yang interpretable.
Tugas seorang PPN sesungguhnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan perwalian dalam aqad nikah. Hanya saja masyarakat kita sering menyebut seorang PPN dengan penghulu. Istilah penghulu inilah yang identik dengan “petugas yang menikahkan”. Dalam prakteknya memang tugas PPN di lapangan sering “berubah” sebagai wakil wali nikah yang menikahkan mempelai, di samping fungsi awalnya sebagai pencatat nikah.
Baiklah, seandainya “kelelakian” seorang menjadi syarat mutlak seorang wali yang tidak bisa diperdebatkan, bukankah tugas resmi seorang PPN adalah melakukan pencatatan aqad nikah. Sehingga jika wali nikah mempelai harus mewakilkan fungsi perwaliannya, bukankah hal itu bisa diwakilkan kepada tokoh agama setempat atau orang lain yang dianggap cakap? Artinya, dengan keperempuanannya, seorang perempuan masih bisa melakukan fungsinya secara wajar dan normal sebagai petugas pencatat nikah. Dus, sah-sah saja bagi perempuan untuk menjadi seorang pegawai pencatat nikah di sebuah Kantor Urusan Agama di lingkungan Departemen Agama.
Dilema Depag
Departemen Agama memang menghadapi hal yang sulit untuk persoalan ini. Jika institusi ini tidak mengijinkan seorang perempuan menjadi pegawai pencatat nikah, berarti Depag telah melakukan diskriminasi jender untuk sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Sebaliknya, jika Depag meloloskan seorang perempuan untuk menjadi pegawai pencatat nikah, kenyataannya masyarakat kita memang belum siap melihat kehadiran seorang perempuan sebagai pertugas pencatat nikah. Alangkah naifnya mengangkat seorang pegawai pelayan masyarakat yang tidak diterima di masyarakat.
Pangkal dilema tersebut sebenarnya berasal dari masyarakat. Jika saja masyarakat memahami fungsi awal PPN “sekedar” sebagai pencatat nikah, tentu mereka akan menerima seorang perempuan sebagai petugas pencatat nikah. Persoalannya muncul karena masyarakat mesih mengidentikkan jabatan kepegawaian yang satu ini sebagai “penghulu”, sebuah pekerjaan yang diartikan sebagai “orang yang menikahkan”. Barangkali aneh kelihatannya jika petugas yang selama ini mereka sebut sebagai penghulu itu ternyata berjenis kelamin perempuan.
Dengan demikian harus ada perubahan persepsi di masyarakat tentang fungsi dan tugas PPN. Masyarakat harus memahami perbedaan antara fungsi PPN dengan fungsi perwalian yang dalam keadaan normal berada di tangan seorang ayah dan secara hukum dapat diwakilkan sesuai ketentuan fiqh. Jika masyarakat telah memahami hal ini, maka eksistensi perempuan sebagai pegawai pencatat nikah tidak akan mengalami penolakan secara kultural.
Untuk itu maka seyogyanya ada usaha-usaha sistematis untuk mengurangi image PPN sebagai wakil wali nikah dalam aqad pernikahan. KUA sebagai institusi yang berkompeten secara langsung di lapangan mungkin harus memulainya. Bisa dengan memberikan penyuluhan dan motivasi kepada para calon wali nikah untuk menikahkan puteriya sendiri tanpa mewakilkannya, atau cara-cara lain yang tentu petugas KUA lebih tahu dalam hal ini.
Departemen Agama sebagai institusi induk harus juga melakukan “revolusi” dengan sesekali menerima pegawai pencatat nikah dari kalangan perempuan. Tentu saja di wilayah-wilayah yang secara psikologis kira-kira masyarakatnya sudah dapat menerimanya. Dahulu pun mungkin masyarakat menganggap aneh ada seorang hakim di Pengadilan Agama berjenis kelamin wanita. Apalagi kitab-kitab fiqh klasik umumnya mengharuskan seorang hakim harus laki-laki. Namun sekarang kita banyak menemukan hakim-hakim perempuan di Pengadilan Agama, meskipun dalam prakteknya hanya sebatas sebagai hakim anggota.
Perubahan persepsi masyarakat tentang fungsi-fungsi publik yang melibatkan jender ini adalah sesuatu yang setahap demi setahap harus dilakukan. Kondisi zaman kita sekarang menuntut kita untuk tidak lagi mengkhususkan ruang publik hanya untuk manusia jenis tertentu. Ini bukan pengingkaran terhadap pembagian fungsi dan peran kerja rumah tangga dalam masyarakat patrilineal seperti Indonesia. Namun kita harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua warganegara untuk dapat melakukan fungsi-fungsi publik., sepanjang mereka mampu dan memenuhi syarat untuk itu. Pemahaman ajaran agama memiliki peran yang signifikan untuk maksud ini. Baik fungsinya sebagai penghambat maupun sebagai pendorong. Kaum agamawan lah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.
No comments:
Post a Comment