Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Wawasan, 7 September 2002
Kegagalan amandemen Pasal 29 UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR Agustus lalu kembali menunjukkan bahwa ide penerapan syariat Islam di Indonesia masih mendapatkan resistensi yang luar biasa. Sejak lahirnya negara ini dari rahim bumi pertiwi, keinginan untuk memformalkan penerapan syariat Islam tidak pernah padam. Ironisnya, kendati umat muslim merupakan penduduk mayoritas, tak sejengkal pun usaha formalisasi di tingkat konstitusi itu pernah berhasil. Kegagalan demi kegagalan politis senantiasa dialami. Mengapa? Seperti disinyalir Cak Nur, sebagian karena faktor internal umat Islam, sebagian karena konspirasi eksternal.
Umat Islam sebenarnya tidak perlu masygul dengan kegagalan tersebut, jika memahami formalisasi syariat bukan merupakan kewajiban ilahi. Seseorang bisa saja berpikiran bahwa tanpa formalisasi upaya penegakan syariat Islam tidak dapat terwujud, sehingga tidak bisa tidak, upaya formalisasi itu mutlak perlu dilakukan. Namun hal tersebut sebenarnya bukan model absolut yang mutlak harus dilakukan.
Ada dua kaidah fiqhiyyah berkaitan dengan hal tersebut, yang implementasinya menjadi perdebatan ahli fiqh selama berabad-abad. Kaidah pertama, “Perintah tentang sesuatu, juga merupakan perintah atas sarana-sarananya” (al-amru bi al-syay’i amrun bi wasa’ilihi). Di sini sarana sama pentingnya dengan tujuannya. Sebaliknya, ada kaidah kedua, “Perintah tentang sesuatu, bukan perintah untuk sarana-sarananya” (al-amru bi al-syay’i laysa amran bi wasa’ilihi).
Dalam kasus politik Indonesia, kaidah kedualah yang paling tepat diterapkan. Ada dua alasan utama yang mendasari hal ini. Pertama, tidak ada preseden apapun di zaman Rasul yang mengisyaratkan kewajiban tentang formalisasi syariat Islam, apalagi membentuk negara Islam. Bahwa negara memiliki peran penting untuk menegakkan tata aturan, itu bisa dianggap benar. Namun bahwa syariat Islam dalam pengertian formal harus ditegakkan, itu tidak seratus persen benar. Di sinilah pentingnya memahami syariat secara proporsional. Kedua, konteks politk Indonesia membutuhkan common platform yang diterima secara umum, sebagaimana Piagam Madinah zaman Rasul, dan itu bukan sesuatu yang yang secara formal “berbau” Islam. Artinya, kita memerlukan common platform yang formatnya lebih netral, tidak memihak, dan tidak berbau diskriminasi. Persoalan common platform tersebut sarat dengan nilai-nilai Islam, itu persoalan lain. Lihat saja konsensus tentang musyawarah. Siapapun memahami bahwa konsep ini merupakan konsep Alquran untuk setiap sengketa persoalan. Namun pihak non-muslim tidak merasa alergi menggunakannya, sebab ia menjadi nilai yang sudah diterima dalam konteks keindonesiaan.
Memahami Syariat
Syariat atau syari’ah, secara etimologi, berarti “jalan untuk diikuti”. Syari’ah biasanya dipahami sebagai hukum Islam. Tetapi sebenarnya pemahaman tersebut merupakan interpretasi yang sempit dari syari’ah.
Syari’ah lebih tepat dianggap sebagai sumber hukum Islam, dan bukan hukum Islam itu sendiri. Bahkan syariah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan, basis kebudayaan Islam, dan sumber peradaban Islam. Syariah mencakup seperangkat nilai, prinsip, dan aturan dasar yang menjadi inti Islam. Seperangkat nilai dan aturan dasar tersebut bersumber dari teks-teks yang terdapat dalam kitab suci dan sunnah nabi. Alquran merupakan firman Tuhan untuk petunjuk umat manusia, sedangkan sunnah nabi merupakan praktek, peraturan, dan kehidupan Nabi. Menyebut syari’ah berarti merujuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran dan sunnah nabi. Keduanya merupakan sumber syariah, yang secara esensial menjadi sumber hukum Islam.
Hukum Islam sendiri, biasa disebut dengan fiqh, dirumuskan dari syari’ah dengan melihat setting sejarah yang menyertai masyarakat muslim. Hukum Islam merupakan suatu proses yang dinamis dan selalu berubah. Format hukum Islam tergantung dari apa yang terjadi pada masyarakat muslim, baik di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Ia senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Sementara syari’ah sendiri tidak pernah berubah, sebab merupakan petunjuk tertinggi dari Tuhan.
Inilah yang disebut Muhammad Natsir sebagai dua sisi mata uang dalam Islam. Menurut Natsir, Islam memiliki dua wajah yang berbeda, namun tak bisa dipisahkan. Sisi pertama adalah wajah Islam yang absolut-universal. Aspek ini merupakan wajah Islam yang tidak bisa berubah-ubah, karena menyangkut hal-hal yang sifatnya prinsipil. Di sana terkandung nilai-nilai ajaran Islam. Sisi kedua adalah wajah Islam yang relatif-partikular. Wajah Islam yang ini senantiasa mengikuti kebutuhan umat. Dan karena itu bentuknya senantiasa terikat dengan ruang dan waktu.
Itulah sebabnya mengapa Islam memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap nilai-nilai lokal. Kenyataan menunjukkan adanya perbedaan antara muslim di Nusantara dengan muslim di belahan bumi lain. Mazhab-mazhab fiqh pun menunjukkan keragaman yang luar biasa. Perbedaan tersebut menyangkut hal-hal yang sifatnya “relatif-partikular” itu. Nah, hubungan syariah dengan hukum Islam (fiqh) merupakan hubungan antara sisi Islam yang absolut-universal dengan sisi relatif-partikular.
Atas dasar hubungan semacam ini, Fazlur Rahman menekankan pentingnya membedakan antara ketentuan “ideal moral” Alquran dengan ketentuan legal spesifiknya. Ketentuan “ideal moral” adalah ketentuan-ketentuan yang sifatnya mendasar, yang dirumuskan dari semangat ayat-ayat Alquran. Dari semangat ayat Alquran ini, kita bisa merumuskan prinsip-prinsip mendasar, seperti kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya. Sedangkan ketentuan “legal spesifik” adalah ketentuan-ketentuan yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks-teks ayat Alquran, semisal ketentuan mengenai potong tangan, rajam, poligami, dan perbudakan.
Selama ini, kita lebih banyak menganggap sisi-sisi legal-formal tersebut sebagai syariah. Kita jarang menampilkan sosok “ideal-moral” Islam sebagai syariah yang sesungguhnya, yang sebenarnya lebih abadi dan menjadi pegangan sepanjang zaman. Maka tidak heran, jika mendengar kata “syariah”, yang tergambar adalah sosok Islam yang seram dan menakutkan. Ini karena orang-orang yang terlibat dalam usaha penegakan syariah menginginkan sisi dramatis dan spektakuler dari syariah. Padahal inti syariah adalah kasih sayang dan keadilan. Bukankah Islam merupakan agama rahmat bagi seluruh alam? Ungkapan rahmatan lil alamin (rahmat seluruh alam) mengandung konsekuensi bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya baik untuk orang Islam, namun juga untuk pihak lain. Hal itu tidak akan terwujud manakala umat Islam menggunakan instrumen yang nyata-nyata membuat kelompok lain jauh dari nilai-nilai Islam. Karena itu, umat Islam harus lebih memperhatikan spirit syariah yang menjadi inti ajaran Islam. Dengan cara ini, mereka lebih bisa menampilkan ajaran Islam yang relevan dan realistis dengan perkembangan zaman.
Sekulerisasi dan Kontekstualisasi
Salah satu instrumen penting untuk menampilkan Islam yang realistis dan relevan dengan konteks zaman adalah upaya sekulerisasi. Istilah ini sering disalahpahami dengan sekulerisme. Padahal substansi keduanya sangat berbeda, bahkan sekulerisme merupakan sesuatu yang sama sekali ditolak dalam Islam.
Sekulerisme adalah nama untuk sebuah ideologi, yakni suatu pandangan ideologi baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru. Sedangkan sekulerisasi merupakan upaya menduniawikan (temporalizing) nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Apa yang semestinya ukhrawi, maka diukhrawikan, dan apa yang seharusnya duniawi, tidak boleh diukhrawikan.
Islam, seperti halnya semua agama monoteis lainnya, menurut Talcot Parsons membawa akibat sekulerisasi besar-besaran. Konsekuensi dari pernyataan tauhid, Tidak ada tuhan kecuali Allah, adalah desakralisasi semua hal kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Segala mitos-mitos, termasuk penyembahan terhadap benda mati dan roh nenek moyang, dihancurkan dengan memperkenalkan satu oknum yang Maha Transenden, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Proses sekulerisasi merupakan upaya pembebasan yang diperlukan umat Islam untuk membedakan mana aspek-aspek yang transendental, dan mana aspek-aspek yang profan. Kesalahan umat Islam selama ini adalah menganggap aspek-aspek yang termasuk “penafsiran ajaran” sebagai ajaran itu sendiri. Lebih dari itu, umat Islam kerap kali menganggap sesuatu sebagai bersifat ilahiah, transenden, padahal sebenarnya bersifat profan.
Proses sekulerisasi atau desakralisasi ini berimplikasi pada keharusan untuk mampu melihat mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Mana yang merupakan inti ajaran Islam, dan mana yang bukan. Kemampuan semacam ini penting untuk membuat Islam dinamis dan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Tanpa itu, Islam akan menjelma menjadi dogma-dogma yang kaku, tidak realistis, dan dalam beberapa hal terkesan tidak manusiawi.
Karena itu, upaya selanjutnya yang dibutuhkan umat Islam adalah kontekstualisasi ajaran. Hanya ada dua sumber dalam ajaran Islam, yakni Alquran dan sunnah. Lantaran kehadiran Alquran dan sunnah terikat dengan sejarah, maka kemampuan kita menangkap spirit yang terkandung di dalamnya sangat penting. Spirit, atau pesan-pesan moral yang disampaikan Tuhan melalui Alquran dan sunnah, merupakan modal penting bagi umat manusia sepanjang zaman untuk mengarungi kehidupan. Mustahil inti ajaran Islam berada dalam wilayah-wilayah teks yang formal. Sebab teks-teks, apapun bentuknya, senantiasa terikat dengan background sejarahnya. Keabadian Islam justru bersembunyi dibalik teks-teks yang menyimpan pesan-pesan ilahi tersebut. Maka tidak bisa tidak, upaya kontekstualisasi ajaran Islam merupakan hal yang sangat penting.
Dalam wilayah politik pun demikian. Umat Islam harus belajar untuk menerjemahkan konsep-konsep politik dalam Alquran agar dapat diimplementasikan dalam konteks kekinian. Kita tidak memerlukan upaya formalisasi syariat Islam dalam kehidupan bernegara, manakala upaya itu justru menjauhkan kita dari idealisme membumikan nilai-nilai ajaran Islam. Prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua, tidak hanya untuk umat Islam, harus menjadi panglima dalam aktivitas politik Islam. Apa gunanya memaksakan formalisasi syariat Islam jika hasilnya malah sebaliknya. Seperti kata pepatah, jauh panggang dari api. Begitulah realitas umat Islam bila memaksakan kulit daripada isi.
Saturday, September 07, 2002
Friday, February 01, 2002
Catatan Jender untuk Departemen Agama
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 1 Februari 2002
Akhir bulan lalu, Departemen Agama menyelenggarakan test seleksi calon pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama. Seleksi tersebut diperuntukkan antara lain untuk formasi dosen, guru, panitera pengganti, pegawai pencatat nikah, penyuluh agama, dan beberapa jenis kepegawaian lain di lingkungan Departemen Agama.
Ada satu hal yang menarik dari proses pendaftaran seleksi CPNS tersebut, terutama jika dilihat dalam pespektif jender. Nyaris semua loket formasi CPNS dipenuhi oleh para pendaftar, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi tidak demikian halnya dengan loket untuk formasi CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah). Loket yang satu ini tidak dipenuhi oleh pendaftar perempuan. Nyaris tak satu pun pendaftar perempuan yang terlihat memasukkan berkas-berkas lamaran pada loket ini. Celakanya, di salah satu tempat pendaftaran di Jawa Timur, untuk tidak mengatakan adanya kemungkinan yang sama di tempat lain, pada loket CPPN tersebut tertulis “khusus laki-laki”. Itu artinya, pendaftar perempuan tidak diperkenankan memasukkan berkas lamarannya untuk formasi yang satu ini. Lantas, apa yang salah pada perempuan, sehingga untuk menjadi pegawai pencatat nikah pun mereka tidak diberi kesempatan ?
Hukum Islam dan Isu Jender
Seperti juga terjadi pada agama-agama lain, penafsiran terhadap ajaran Islam rentan dengan interpretasi yang bias jender. Beberapa ketentuan mengenai perkawinan, waris, persaksian, dan kepala pemerintahan adalah contoh aspek-aspek dalam ajaran Islam yang sering diperdebatkan oleh ahli hukum Islam. Sebabnya adalah karena di dalam aspek-aspek tersebut masih ada ruang untuk interpretasi. Hukum Islam sendiri (atau lebih dikenal dengan nama fiqh) merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang sarat dengan perbedaan dan perdebatan. Itulah yang disebut orang dengan persoalan khilafiyah, yang di Indonesia kadang-kadang direpresentasikan melalui simbolisasi NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Nusantara.
Untuk isu jender dalam perkawinan, para feminis muslim biasanya mempersoalkan ketentuan-ketentuan fiqh mengenai poligami, masa tunggu pasca cerai (iddah), dan perwalian. Dalam perwalian, hampir dapat dipastikan bahwa semua kitab fiqh klasik mencantumkan syarat laki-laki bagi seorang wali nikah. Perempuan tidak diperkenankan menjadi wali nikah dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Sekali lagi, ketentuan ini sesungguhnya masih sangat layak diperdebatkan, karena berkaitan dengan wilayah-wilayah yang interpretable.
Tugas seorang PPN sesungguhnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan perwalian dalam aqad nikah. Hanya saja masyarakat kita sering menyebut seorang PPN dengan penghulu. Istilah penghulu inilah yang identik dengan “petugas yang menikahkan”. Dalam prakteknya memang tugas PPN di lapangan sering “berubah” sebagai wakil wali nikah yang menikahkan mempelai, di samping fungsi awalnya sebagai pencatat nikah.
Baiklah, seandainya “kelelakian” seorang menjadi syarat mutlak seorang wali yang tidak bisa diperdebatkan, bukankah tugas resmi seorang PPN adalah melakukan pencatatan aqad nikah. Sehingga jika wali nikah mempelai harus mewakilkan fungsi perwaliannya, bukankah hal itu bisa diwakilkan kepada tokoh agama setempat atau orang lain yang dianggap cakap? Artinya, dengan keperempuanannya, seorang perempuan masih bisa melakukan fungsinya secara wajar dan normal sebagai petugas pencatat nikah. Dus, sah-sah saja bagi perempuan untuk menjadi seorang pegawai pencatat nikah di sebuah Kantor Urusan Agama di lingkungan Departemen Agama.
Dilema Depag
Departemen Agama memang menghadapi hal yang sulit untuk persoalan ini. Jika institusi ini tidak mengijinkan seorang perempuan menjadi pegawai pencatat nikah, berarti Depag telah melakukan diskriminasi jender untuk sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Sebaliknya, jika Depag meloloskan seorang perempuan untuk menjadi pegawai pencatat nikah, kenyataannya masyarakat kita memang belum siap melihat kehadiran seorang perempuan sebagai pertugas pencatat nikah. Alangkah naifnya mengangkat seorang pegawai pelayan masyarakat yang tidak diterima di masyarakat.
Pangkal dilema tersebut sebenarnya berasal dari masyarakat. Jika saja masyarakat memahami fungsi awal PPN “sekedar” sebagai pencatat nikah, tentu mereka akan menerima seorang perempuan sebagai petugas pencatat nikah. Persoalannya muncul karena masyarakat mesih mengidentikkan jabatan kepegawaian yang satu ini sebagai “penghulu”, sebuah pekerjaan yang diartikan sebagai “orang yang menikahkan”. Barangkali aneh kelihatannya jika petugas yang selama ini mereka sebut sebagai penghulu itu ternyata berjenis kelamin perempuan.
Dengan demikian harus ada perubahan persepsi di masyarakat tentang fungsi dan tugas PPN. Masyarakat harus memahami perbedaan antara fungsi PPN dengan fungsi perwalian yang dalam keadaan normal berada di tangan seorang ayah dan secara hukum dapat diwakilkan sesuai ketentuan fiqh. Jika masyarakat telah memahami hal ini, maka eksistensi perempuan sebagai pegawai pencatat nikah tidak akan mengalami penolakan secara kultural.
Untuk itu maka seyogyanya ada usaha-usaha sistematis untuk mengurangi image PPN sebagai wakil wali nikah dalam aqad pernikahan. KUA sebagai institusi yang berkompeten secara langsung di lapangan mungkin harus memulainya. Bisa dengan memberikan penyuluhan dan motivasi kepada para calon wali nikah untuk menikahkan puteriya sendiri tanpa mewakilkannya, atau cara-cara lain yang tentu petugas KUA lebih tahu dalam hal ini.
Departemen Agama sebagai institusi induk harus juga melakukan “revolusi” dengan sesekali menerima pegawai pencatat nikah dari kalangan perempuan. Tentu saja di wilayah-wilayah yang secara psikologis kira-kira masyarakatnya sudah dapat menerimanya. Dahulu pun mungkin masyarakat menganggap aneh ada seorang hakim di Pengadilan Agama berjenis kelamin wanita. Apalagi kitab-kitab fiqh klasik umumnya mengharuskan seorang hakim harus laki-laki. Namun sekarang kita banyak menemukan hakim-hakim perempuan di Pengadilan Agama, meskipun dalam prakteknya hanya sebatas sebagai hakim anggota.
Perubahan persepsi masyarakat tentang fungsi-fungsi publik yang melibatkan jender ini adalah sesuatu yang setahap demi setahap harus dilakukan. Kondisi zaman kita sekarang menuntut kita untuk tidak lagi mengkhususkan ruang publik hanya untuk manusia jenis tertentu. Ini bukan pengingkaran terhadap pembagian fungsi dan peran kerja rumah tangga dalam masyarakat patrilineal seperti Indonesia. Namun kita harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua warganegara untuk dapat melakukan fungsi-fungsi publik., sepanjang mereka mampu dan memenuhi syarat untuk itu. Pemahaman ajaran agama memiliki peran yang signifikan untuk maksud ini. Baik fungsinya sebagai penghambat maupun sebagai pendorong. Kaum agamawan lah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.
Dimuat di Suara Merdeka, 1 Februari 2002
Akhir bulan lalu, Departemen Agama menyelenggarakan test seleksi calon pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama. Seleksi tersebut diperuntukkan antara lain untuk formasi dosen, guru, panitera pengganti, pegawai pencatat nikah, penyuluh agama, dan beberapa jenis kepegawaian lain di lingkungan Departemen Agama.
Ada satu hal yang menarik dari proses pendaftaran seleksi CPNS tersebut, terutama jika dilihat dalam pespektif jender. Nyaris semua loket formasi CPNS dipenuhi oleh para pendaftar, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi tidak demikian halnya dengan loket untuk formasi CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah). Loket yang satu ini tidak dipenuhi oleh pendaftar perempuan. Nyaris tak satu pun pendaftar perempuan yang terlihat memasukkan berkas-berkas lamaran pada loket ini. Celakanya, di salah satu tempat pendaftaran di Jawa Timur, untuk tidak mengatakan adanya kemungkinan yang sama di tempat lain, pada loket CPPN tersebut tertulis “khusus laki-laki”. Itu artinya, pendaftar perempuan tidak diperkenankan memasukkan berkas lamarannya untuk formasi yang satu ini. Lantas, apa yang salah pada perempuan, sehingga untuk menjadi pegawai pencatat nikah pun mereka tidak diberi kesempatan ?
Hukum Islam dan Isu Jender
Seperti juga terjadi pada agama-agama lain, penafsiran terhadap ajaran Islam rentan dengan interpretasi yang bias jender. Beberapa ketentuan mengenai perkawinan, waris, persaksian, dan kepala pemerintahan adalah contoh aspek-aspek dalam ajaran Islam yang sering diperdebatkan oleh ahli hukum Islam. Sebabnya adalah karena di dalam aspek-aspek tersebut masih ada ruang untuk interpretasi. Hukum Islam sendiri (atau lebih dikenal dengan nama fiqh) merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang sarat dengan perbedaan dan perdebatan. Itulah yang disebut orang dengan persoalan khilafiyah, yang di Indonesia kadang-kadang direpresentasikan melalui simbolisasi NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Nusantara.
Untuk isu jender dalam perkawinan, para feminis muslim biasanya mempersoalkan ketentuan-ketentuan fiqh mengenai poligami, masa tunggu pasca cerai (iddah), dan perwalian. Dalam perwalian, hampir dapat dipastikan bahwa semua kitab fiqh klasik mencantumkan syarat laki-laki bagi seorang wali nikah. Perempuan tidak diperkenankan menjadi wali nikah dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Sekali lagi, ketentuan ini sesungguhnya masih sangat layak diperdebatkan, karena berkaitan dengan wilayah-wilayah yang interpretable.
Tugas seorang PPN sesungguhnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan perwalian dalam aqad nikah. Hanya saja masyarakat kita sering menyebut seorang PPN dengan penghulu. Istilah penghulu inilah yang identik dengan “petugas yang menikahkan”. Dalam prakteknya memang tugas PPN di lapangan sering “berubah” sebagai wakil wali nikah yang menikahkan mempelai, di samping fungsi awalnya sebagai pencatat nikah.
Baiklah, seandainya “kelelakian” seorang menjadi syarat mutlak seorang wali yang tidak bisa diperdebatkan, bukankah tugas resmi seorang PPN adalah melakukan pencatatan aqad nikah. Sehingga jika wali nikah mempelai harus mewakilkan fungsi perwaliannya, bukankah hal itu bisa diwakilkan kepada tokoh agama setempat atau orang lain yang dianggap cakap? Artinya, dengan keperempuanannya, seorang perempuan masih bisa melakukan fungsinya secara wajar dan normal sebagai petugas pencatat nikah. Dus, sah-sah saja bagi perempuan untuk menjadi seorang pegawai pencatat nikah di sebuah Kantor Urusan Agama di lingkungan Departemen Agama.
Dilema Depag
Departemen Agama memang menghadapi hal yang sulit untuk persoalan ini. Jika institusi ini tidak mengijinkan seorang perempuan menjadi pegawai pencatat nikah, berarti Depag telah melakukan diskriminasi jender untuk sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Sebaliknya, jika Depag meloloskan seorang perempuan untuk menjadi pegawai pencatat nikah, kenyataannya masyarakat kita memang belum siap melihat kehadiran seorang perempuan sebagai pertugas pencatat nikah. Alangkah naifnya mengangkat seorang pegawai pelayan masyarakat yang tidak diterima di masyarakat.
Pangkal dilema tersebut sebenarnya berasal dari masyarakat. Jika saja masyarakat memahami fungsi awal PPN “sekedar” sebagai pencatat nikah, tentu mereka akan menerima seorang perempuan sebagai petugas pencatat nikah. Persoalannya muncul karena masyarakat mesih mengidentikkan jabatan kepegawaian yang satu ini sebagai “penghulu”, sebuah pekerjaan yang diartikan sebagai “orang yang menikahkan”. Barangkali aneh kelihatannya jika petugas yang selama ini mereka sebut sebagai penghulu itu ternyata berjenis kelamin perempuan.
Dengan demikian harus ada perubahan persepsi di masyarakat tentang fungsi dan tugas PPN. Masyarakat harus memahami perbedaan antara fungsi PPN dengan fungsi perwalian yang dalam keadaan normal berada di tangan seorang ayah dan secara hukum dapat diwakilkan sesuai ketentuan fiqh. Jika masyarakat telah memahami hal ini, maka eksistensi perempuan sebagai pegawai pencatat nikah tidak akan mengalami penolakan secara kultural.
Untuk itu maka seyogyanya ada usaha-usaha sistematis untuk mengurangi image PPN sebagai wakil wali nikah dalam aqad pernikahan. KUA sebagai institusi yang berkompeten secara langsung di lapangan mungkin harus memulainya. Bisa dengan memberikan penyuluhan dan motivasi kepada para calon wali nikah untuk menikahkan puteriya sendiri tanpa mewakilkannya, atau cara-cara lain yang tentu petugas KUA lebih tahu dalam hal ini.
Departemen Agama sebagai institusi induk harus juga melakukan “revolusi” dengan sesekali menerima pegawai pencatat nikah dari kalangan perempuan. Tentu saja di wilayah-wilayah yang secara psikologis kira-kira masyarakatnya sudah dapat menerimanya. Dahulu pun mungkin masyarakat menganggap aneh ada seorang hakim di Pengadilan Agama berjenis kelamin wanita. Apalagi kitab-kitab fiqh klasik umumnya mengharuskan seorang hakim harus laki-laki. Namun sekarang kita banyak menemukan hakim-hakim perempuan di Pengadilan Agama, meskipun dalam prakteknya hanya sebatas sebagai hakim anggota.
Perubahan persepsi masyarakat tentang fungsi-fungsi publik yang melibatkan jender ini adalah sesuatu yang setahap demi setahap harus dilakukan. Kondisi zaman kita sekarang menuntut kita untuk tidak lagi mengkhususkan ruang publik hanya untuk manusia jenis tertentu. Ini bukan pengingkaran terhadap pembagian fungsi dan peran kerja rumah tangga dalam masyarakat patrilineal seperti Indonesia. Namun kita harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua warganegara untuk dapat melakukan fungsi-fungsi publik., sepanjang mereka mampu dan memenuhi syarat untuk itu. Pemahaman ajaran agama memiliki peran yang signifikan untuk maksud ini. Baik fungsinya sebagai penghambat maupun sebagai pendorong. Kaum agamawan lah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)