Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 16 Juni 2016
Razia warung dan restoran di kota Serang yang terjadi beberapa hari lalu menuai kontorversi. Sebagian orang menganggap razia tersebut wajar. Tidak hanya untuk menghormati bulan puasa, namun juga merupakan amanah Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Sementara sebagian lain menganggap razia tersebut berlebihan dan tidak sepatutnya dilakukan.
Sesungguhnya, persoalan ini tidak bisa dilihat secara hitam putih. Razia warung di Kota Serang ini hanya salah satu contoh adanya problem sistemik dalam proses penegakan negara hukum di Indonesia.
Sebagai salah satu instrumen penegakan hukum daerah, Tim Satpol PP tidak bisa dengan serta merta disalahkan dalam persoalan tersebut. Mereka hanya alat untuk menegakkan Perda Kota Serang, yang didukung dengan Surat Edaran Walikota No. 451.13/555-Kesra/2016 tentang kegiatan yang dilarang di bulan Ramadhan.
Hanya saja, ada problem mendasar yang diabaikan para street bureaucrats ini dalam proses penegakan hukum di lapangan. Surat edaran walikota yang menjadi dasar pelaksanaan Perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010 tersebut tidak memberi kewenangan Satpol PP untuk menyita dan merampas barang-barang dagangan milik para pemilik warung.
Bagi sebagian orang, modal yang digunakan untuk menyiapkan barang dagangan dalam satu hari mungkin tidak seberapa. Namun bagi para pedagang kecil ini, modal tersebut menjadi “nyawa” bagi keberlangsungan hidup mereka. Betapapun para pedagang dan pemilik warung ini telah melanggar aturan Perda, mereka masih warganegara Indonesia, yang harus dihormati hak-hak dasarnya. Dalam konteks apapun, penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan semena-mena dan mengabaikan hak asasi manusia. Aparat tidak bisa bertindak arogan dalam menegakkan hukum.
Namun demikian, respon media dan masyarakat dalam menyikap tindakan petugas Satpol PP tidak kalah problematik. Masyarakat dan media cenderung menganggap para pemilik warung murni sebagai korban.
Ibu Saeni, salah satu pemilik warung yang terkena razia, dicitrakan sebagai pihak yang terzalimi. Sekelompok masyarakat bahkan berinisiatif mengumpulkan dana bantuan untuk membantu Bu Saeni. Tidak tanggung-tanggung responnya. Dana terkumpul untuk untuk Bu Saeni mencapai lebih dari Rp 265 juta (Suara Merdeka, 13/6/2016).
Di satu sisi, jumlah donasi yang tidak sedikit ini menunjukkan masih kuatnya solidaritas sosial masyarakat Indonesia kepada sesama. Namun di sisi lain, simpati dan dukungan yang kuat terhadap Bu Saeni ini bisa preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Terlepas dari substansi Perda dan Surat Edaran Walikota, fakta hukum menunjukkan bahwa Bu Saeni sejatinya telah melanggar Perda Kota Serang.
Kontraproduktif
Dalam tata perundang-undangan di Indonesia, perda adalah jenis produk hukum daerah dengan kekuatan paling tinggi. Sebagai produk hukum, perda lahir atas kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Perda Kota Serang, yang menjadi dasar tindakan Satpol PP, dibuat tidak hanya oleh Pemerintah Kota Serang, namun juga oleh DPRD, yang merupakan penjelmaan seluruh warga Serang. Dalam konteks ini, alih-alih memperkuat penegakan hukum di Indonesia, dukungan terhadap para pelanggar Perda seperti Bu Saeni ini kontra produktif terhadap upaya penegakan hukum di daerah.
Dengan menunjukkan kekeliruan ini, saya tidak hendak mengatakan bahwa Perda Kota Sedang tanpa masalah. Sebaliknya, Perda Kota Serang merupakan salah satu contoh perda bernuansa moral yang substansi dan implementasinya bisa menyisakan blunder-blunder yang tidak perlu.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan beberapa asas yang harus dipenuhi dalam materi perundang-undangan. Empat di antaranya adalah asas pengayoman, kemanusiaan, keadilan, dan bhinneka tungal ika. Kenyataannya, di era reformasi, tidak sedikit perda bernuansa moral yang lahir menyisakan persoalan yang sejatinya mengganggu asas keadilan, pengayoman, kemanusiaan, dan bhinneka tunggal ika.
Banyak aspek dalam perda bernuansa moral ini yang mengandung unsur diskriminasi. Aspek-aspek ini tidak menguntungkan kelompok-kelompok rentan, terutama golongan minoritas dan perempuan. Perda seperti ini masuk dalam ribuan perda bermasalah yang sedang dikaji pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri sendiri dikabarkan pernah menginventarisir 3000 perda bermasalah di seluruh Indonesia (Suara Merdeka, 30/1/2016). Beberapa di antaranya sudah dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku.
Poin saya adalah masyarakat perlu lebih arif dalam menyikapi suatu tindakan hukum. Jangan sampai respon kita justru kontra produktif terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sebaliknya, para street bureaucrats yang bekerja di lapangan pun harus lebih arif dalam menegakkan peraturan. Aspek-aspek kemanusiaan dan pengayoman tidak boleh diabaikan.
Jika problemnya ada pada produk hukum pemerintah, maka mekanisme hukum pun harus digunakan. Masyarakat bisa menggunakan hak uji materi (judicial review). Atau, untuk konteks Perda, masyarakat dapat mengupayakan penundaaan atau pembatalan melalui badan atau lembaga pemerintah yang berwenang. Di dalam Negara hukum, segala sesuatu harus diletakkan dalam kerangka hukum. Bukan dengan cara-cara yang justru mencederai hakikat negara hukum.
Dani Muhtada, M.P.A., Ph.D. adalah Ketua Bagian HTN-HAN pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.