Tuesday, January 11, 2011

Salat Jumat Tiga Rakaat

Oleh Dani Muhtada
Web Unnes, 11 Januari 2011

JAM menunjukkan pukul 13.15 ketika kaki saya memasuki pintu masjid, tak jauh dari apartemen saya. Khatib sudah berdiri di atas mimbar dan menyampaikan khotbah jumatnya. Segera saya mencari space kosong untuk salat dua rakaat, sebelum akhirnya duduk bersila menyimak isi khotbah. Tampaknya khatib dari luar. Baru kali ini saya melihatnya. Tapi tipikal wajahnya tidak asing. Wajah-wajah Asia Selatan. Tipe wajah yang sering berdiri di mimbar masjid ini.

Setelah beberapa saat menyimak isi khotbah, saya segera mengenali topiknya. Intinya sama dengan kebanyakan khotbah-khotbah sebelumnya. Isu “favorit” seputar Islam dan khilafah. Tentang pentingnya kesatuan politik bagi ummah. Tentang superioritas Islam atas kapitalisme. Tentang konspirasi Barat menjatuhkan Islam, dan seterusnya. Terus terang, saya agak bosan dengan tema ini. Khatibnya suka “jumping to the conclusion”. Dalam kacamata awam saya, caranya mengurai persoalan dan memberikan solusi sering nggak “nyambung”. Berkesan provokatif dan kurang argumentatif. Walhasil, saya pun memilih terpekur. Membiarkan kepala tertunduk lebih dalam, dan menikmati kantuk.

Entah berapa lama saya termenung, tiba-tiba saya merasa khotbah kali ini terlalu lama. Benar saja! Saat saya melirik jam, waktu menunjukkan pukul 13.45. Sang khatib tampak masih bersemangat menguraikan khotbahnya. Sementara saya tertunduk lesu, berharap khotbah segera berakhir. Untungnya, tak sampai lima menit, khatib membacakan doa penutup. Salat jumat pun akhirnya dimulai.

Tapi cerita belum berakhir. Usai imam mengucapkan salam, seorang anggota jamaah tiba-tiba berdiri. Setengah berteriak, ia memprotes imam. “Mengapa kamu hanya salat dua rakaat?” Dengan nada emosional, orang ini terus nyerocos: Seharusnya imam memimpin salat sebanyak tiga rakaat, bukan dua rakaat seperti biasa. Satu rakaat tambahan adalah pengganti satu khotbah yang “terlupakan”. Whattt???

Rupanya tadi khatib hanya menyampaikan khotbah satu kali. Memang semestinya khotbah jumat dilaksanakan dua kali. Saya pun diam-diam tertawa. Rupanya “tafakkur”-ku tadi sangat khusyuk. Sampai-sampai tidak tahu kalau khotbah cuma dilaksanakan sekali. Tapi protes itu pun tak kalah menggelikan. Baru kali ini saya mendengar “usulan” salat jumat jadi tiga rakaat. Bahkan untuk pengganti satu khotbah yang terlupa sekalipun.

Sontak suasana pun gaduh. Ada yang berusaha “menenangkan” orang tersebut. Ada yang membaca ayat “innallaha ghafurun rahim” secara berulang-ulang. Maksudnya, mengingatkan bahwa Allah Maha Pengampun, jadi “kelupaan” tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Ada juga yang bertakbir, mencoba menenteramkan suasana. Tapi tak sedikit pula yang mengambil sikap seperti saya: duduk terpaku, terpukau, setengah bengong.

Untungnya Wahbih, seorang anggota jamaah yang kutahu memiliki pengetahuan fikih yang baik, segera berdiri menguasai mikrofon. Dengan gayanya yang tenang, ia menjelaskan tidak adanya aturan tentang salat jumat tiga rakaat. Ia mengingatkan bahwa manusia tempatnya lupa. Jika khatib lupa melaksanakan dua kali khotbah, hendaknya dimaafkan saja. Apalagi khotbah dua kali sifatnya sunah, katanya. Penjelasan pria asal Palestina ini tampaknya mengena di hati jamaah. Terbukti jamaah mulai tenang dan berangsur membubarkan diri. Sementara sang imam, yang sedari tadi duduk gelisah, tampak lega “terselamatkan”.

***

SAYA menangkap dua pelajaran penting dari kejadian tersebut. Pertama, khatib tampak kurang peka terhadap “kebutuhan” jamaah. Khotbah yang terlalu panjang, serta tema-tema yang “itu-itu” saja, mengindikasikan hal tersebut. Bukan saja membuat pesan tidak sampai secara efektif dan efisien, namun juga membuat pendengar macam saya merasa bosan dan tidak “jenak” menyimak isi khotbah.

Saya ingat, dulu waktu SMP, saya punya dua khatib favorit di Masjid “Jamek” Banyuwangi: Ustaz Aly Kampung Arab dan Kyai Asnawi Panderejo. Saya suka Ustaz Aly karena ceramahnya yang selalu menggugah semangat. Kalau dia sedang berkhotbah, nyaris tak ada jamaah yang mengantuk. Saya juga suka Kyai Asnawi karena “lagunya” yang khas ketika membaca doa penutup khotbah, dan karena khotbah-khotbahnya yang selalu pendek. Singkat, padat, dan mudah ditangkap telinga awam. Khotbah yang selalu pendek ini, katanya, mengikuti sunah Rasul. Ia suka membacakan hadis yang isinya menyuruh khatib memendekkan khotbah, dan memanjangkan salat. Tidak sebaliknya, memanjangkan khotbah dan memendekkan salat.

Ketidakpekaan khatib terhadap jamaahnya tersebut seperti merefleksikan relasi elite dan massa dalam konteks sosial politik di Indonesia. Khatib yang memanjangkan khotbah tanpa mengindahkan kenyamanan jamaah, tak ubahnya perilaku elite (agama atau politik) yang lebih suka fokus pada dirinya tinimbang pada kepentingan jamaah atau konstituennya.

Dulu, waktu zaman Orde Baru, para pembesar NU suka membuat satire tentang pemilu dan mobil mogok. Orang NU diibaratkan sebagai kelompok pendorong mobil mogok, yang akan ditinggalkan sang sopir jika mobil telah jalan. Dulu sang sopir ibarat bagi para politikus non-NU yang mengerjai orang-orang NU. Tapi sekarang, sopir yang mengerjai warga NU itu kadang justru para kiainya sendiri. Kisah-kisah getir seperti ini tentu bukan monopoli NU. Eksploitasi massa oleh elitenya sendiri mudah dijumpai di kelompok lain dalam masyarakat paternalistik kita.

Kedua, “keberanian” jamaah mengusulkan salat jumat menjadi tiga rakaat seperti mewakili fenomena sosial keagamaan yang terjadi di masyarakat kita. Fenomena yang saya maksud adalah kecenderungan untuk mudah “meng-condemn” kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri paling benar. Zaman dulu, orang NU dan Muhammadiyah “bertengkar” dan saling menyalahkan hanya gara-gara masalah “furu”. Zaman sekarang, orang-orang mempertengkarkan keyakinan dan tega berbuat anarkis terhadap kelompok lain hanya karena “merasa” keyakinannya terganggu. Lebih celaka lagi, orang-orang seperti ini kadang gemar mengambil keputusan atau memberikan “solusi-solusi” lucu tanpa didasari kebijaksanaan dan pengetahuan yang memadai. Alih-alih menyelesaikan persoalan, solusi yang diberikan tak jarang mengabaikan hak-hak orang lain.

Sungguh, bahaya laten terbesar dalam kehidupan beragama sejatinya adalah ketika kita lebih berorientasi pada aturan formal, dengan mengabaikan substansi ajaran. Saya tidak mengatakan agama tidak perlu aturan formal, sebab tidak ada agama tanpa formalisme. Poin saya adalah bahwa kita seyogianya tidak terjebak pada formalisme. Dalam konteks Islam, berpegang teguh pada fikih adalah baik, sebab hal tersebut memudahkan kita berjalan dalam rambu-rambu agama. Tetapi bersikap terlalu “fiqh oriented” bisa membuat kita lalai akan “spirit” syariah. Kita “bisa” tergelincir, lantas mengabaikan prinsip persaudaraan, kesetaraan, keadilan, dan perlindungan atas jiwa, harta, serta kehormatan orang lain, yang notabene adalah spirit-spirit syariah.

Saya teringat dulu Prof Amin Abdullah, ketika memimpin Majlis Tarjih Muhammadiyah, pernah memopulerkan epistemologi bayani, burhani, dan irfani (yang ia pinjam dari Abid Al-Jabiri). Kerangka berpikir bayani berorientasi pada teks (Alquran dan sunah). Nalar burhani bertumpu pada rasionalisme, sedangkan nalar irfani berorientasi pada hati (dzauwq, understanding others). Pak Amin tampaknya percaya bahwa kepiawaian kita dalam mengolah ketiga nalar ini merupakan modal penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial keagamaan kontemporer. Saya sangat percaya hal tersebut. Tetapi, apakah para “kiai” Muhammadiyah masih menerapkan epistemologi ini dalam keputusan-keputusan tarjih mereka? Wallahu a’lam.