Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 11 Maret 2009
Salah satu praktik sosial yang dianggap ”legal” oleh masyarakat Muslim Indonesia tetapi sejatinya merugikan perempuan adalah praktik nikah sirri. Secara etimologi, kata ”sirri” berasal dari bahasa Arab sirrun, yang berarti rahasia. Secara terminologi, nikah sirri merujuk pada pernikahan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak dicatat secara resmi oleh negara. Karena dilakukan di bawah tangan, maka biasanya pernikahan seperti ini dilakukan secara diam-diam atau rahasia.
Sebenarnya istilah nikah sirri tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh klasik. Memang, ada pendapat menyatakan bahwa istilah nikah sirri sudah muncul sejak zaman Malik bin Anas (w. 800), pendiri mazhab Maliki. Tetapi ketika itu, istilah tersebut merujuk pada pernikahan yang para saksinya diminta merahasiakan pernikahan karena alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia, istilah nikah sirri dengan pengertian "nikah di bawah tangan, diduga muncul sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974. Undang-undang ini mewajibkan orang Islam untuk mendaftarkan pernikahannya kepada negara. Beberapa orang yang ”enggan” mencatatkan perkawinannya atau menunda pencatatan nikahnya oleh Kantor Urusan Agama (KUA) menyebut perkawinan mereka dengan istilah nikah sirri.
Penyebutan ini sesungguhnya merupakan upaya melegitimasi apa yang sebenarnya tidak legitimate di mata negara. Dalam hukum Islam, pernikahan sudah dianggap sah manakala ia dilakukan dengan persetujuan wali, ditandai dengan pengucapan sighat nikah, dan disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat. Aturan fiqh konvensional tidak mempersyaratkan pernikahan harus dicatat oleh penguasa. Rasulullah hanya menganjurkan para pihak untuk mengumumkan perkawinan mereka kepada khalayak. Nabi bersabda, ”Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR Ibnu Majah dari Aisyah). Hadits lain menyebutkan, ”Rayakanlah pernikahan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR Al-Bukhari dari Abdurrahman bin Auf). Anjuran-anjuran ini tentu dimaksudkan untuk menghindari fitnah dan mengukuhkan institusi pernikahan yang baru saja dibangun.
Beberapa Kerugian
Kendati dalam perspektif fiqh pernikahan sirri dapat diterima, namun dalam praktiknya, model perkawinan semacam ini berisiko menimbulkan kerugian, terutama bagi pihak perempuan. Nikah sirri menempatkan perempuan pada posisi yang sangat lemah secara hukum. Jika sewaktu-waktu terjadi perceraian atau sang suami menelantarkannya, isteri tidak bisa menuntut hak-haknya di pengadilan. Atau, jika sang suami tiba-tiba meninggal, sang isteri tidak bisa menuntut pembagian harta warisan dari suaminya. Apalagi jika pernikahan tersebut membuahkan keturunan, anak juga akan terancam hak-haknya. Ia tidak akan bisa mendapatkan akta kelahiran. Hak-haknya sebagai anak tidak akan diakui oleh hukum.
Sebaliknya, secara hukum posisi suami sangat kuat. Ia dapat kapan saja meninggalkan isteri, tanpa harus memberikan pertanggungjawaban apapun di muka pengadilan. Risiko kekerasan dalam rumah tangga oleh suami juga sangat besar. Sebab, tidak ada payung hukum yang dapat melindungi perempuan dan anak-anak.
Perkawinan semacam ini sesungguhnya bertentangan dengan filosofi pernikahan dalam Islam. Pertama, Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah ”perjanjian yang kokoh” (QS. Al-Nisa: 21). Karena kokohnya perjanjian itu, sampai-sampai dinyatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam Islam, tetapi sangat dibenci Allah (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Artinya, meskipun perceraian dimungkinkan dalam Islam, tetapi seseorang tidak boleh dengan mudah melakukannya. Orang harus dibuat berpikir seribu kali untuk bercerai. Implikasinya, harus dibuat sistem yang sangat kuat untuk melindungi institusi pernikahan dan mencegah seseorang melakukan perceraian dengan mudah. Kedua, konsep pernikahan dalam Islam memposisikan isteri sebagai ”pakaian suami" dan suami sebagai ”pakaian isteri". Ini berarti bahwa secara hukum posisi suami dan isteri haruslah setara. Yang satu tidak boleh lebih tinggi dari yang lain. Keduanya harus sejajar dan semitra.
Konsep nikah sirri yang ”dilegalkan” oleh masyarakat kita sejatinya bertentangan dengan kedua filosofi nikah tersebut. Bahkan, konsep nikah sirri secara telanjang bertentangan dengan salah satu maslahat primer yang menjadi tujuan pensyariatan dalam hukum Islam (maqasid al-syari’ah), yaitu menjaga keturunan (hifzu al-nasl). Sebab, tidak ada perlindungan hukum apapun yang bisa diterima anak dari hasil nikah sirri. Sialnya, terkadang istilah nikah sirri disalahgunakan untuk menutup-nutupi praktik kumpul kebo atau aksi perzinaan yang tertangkap basah. Kalau ini yang terjadi, tentu sangat ironis. Sebab, agama lagi-lagi dieksploitasi untuk memenuhi kepentingan syahwat pribadi.
Merujuk pada salah satu kaidah ushul fiqh, yang menyatakan bahwa ”mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan” (dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil masalih), maka risiko kemudaratan pada nikah sirri sungguh lebih besar daripada kemasalahatannya. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan strategi yang jitu untuk ”memberantas” praktik nikah sirri di kalangan umat Islam.
Dua strategi berikut dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, mengkampanyekan dampak-dampak negatif nikah sirri bagi keluarga, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Selama ini, citra nikah sirri di masyarakat Islam sangat netral, bahkan cenderung ke positif. Atas dasar ini, tidak ada salahnya jika ada upaya membangun citra yang agak negatif tentang nikah sirri, meskipun citranya tidak bisa disamakan dengan kumpul kebo atau “isteri simpanan”. Di sini, peran para tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat penting. Mereka dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjauhi nikah sirri. Celakanya, kadang-kadang para tokoh agama justru menjadi pioner atau sponsor praktik nikah sirri di lingkungan masyarakatnya.
Kedua, membuat sistem yang memudahkan seseorang untuk menikah secara legal. Misalnya, soal prosedur dan biaya pencatatan nikah di KUA. Boleh jadi biaya menikah di kantor KUA hanya Rp 30.000. Tetapi informasi yang sampai ke masyarakat mengharuskan mereka membayar hingga ratusan ribu rupiah. Bagi warga miskin, jumlah tersebut tentu tidak kecil. Belum lagi jika ada biaya-biaya tambahan di kelurahan, yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan pencatatan nikah, seperti pembangunan masjid, perbaikan jalan desa, atau pembelian buku-buku panduan menikah. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar dari pemberantasan nikah sirri sesungguhnya berasal dari mentalitas eksploitatif para pelayan publik di negeri ini. Kalau sudah begini, nikah sirri tetap akan tumbuh subur. Dan, nasib agama tetap akan dieskploitasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
(Dani Muhtada, staf pengajar FH Unnes, alumnus Flinders University Australia)
PS: Versi asli penulis. Suara Merdeka memuat dengan beberapa pengeditan.