Dani Muhtada
Dimuat di Republika, Sabtu, 22 Juli 2006
Tulisan Lazwardinur yang dimuat harian ini (18/7) merekomendasikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk bekerja ekstra keras menyelesaikan konflik yang kini terjadi di Timur Tengah. Lebih lanjut, ia menyarankan PBB, terutama Dewan Keamanan, untuk melepaskan diri dari pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya. Ini menurutnya penting sebab menyangkut harga diri, kredibilitas, dan legitimasi PBB di mata internasional.
Pertanyaannya, mungkinkah PBB melakukan hal tersebut? Kendati berharap, terus terang saya meragukannya. Bukan tanpa alasan. Untuk kesekian kalinya organisasi supranasional ini tidak mampu menghentikan konflik dan aksi kebrutalan perang yang membunuh banyak jiwa tak berdosa. Yang terakhir dan masih segar di ingatan adalah ketika Amerika Serikat menghajar Irak yang sudah rapuh di tahun 2003. PBB juga tidak berkutik. Padahal, salah satu tujuan didirikannya organisasi ini pasca Perang Dunia II adalah untuk mencegah terjadinya perang serta menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Ketika sebuah media tidak bisa lagi digunakan untuk mencapai tujuannya, lantas untuk apa media itu ada?
Pengingkaran demokrasi
Dalam konteks ini, PBB persis seperti apa yang disitir oleh pepatah Arab, wujuduhu ka adamihi, adanya seperti tidak adanya. Ada atau tidak ada PBB sama saja. Hal ini disebabkan oleh akutnya `penyakit penyakit' dalam tubuh PBB, yang sesungguhnya sudah jamak diketahui orang namun terkesan dibiarkan.
Pertama, fakta adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam PBB. Hak veto yang secara khusus dimiliki oleh lima negara membuat wajah PBB sangat diskriminatif. Tidak ada posisi duduk sama rendah berdiri sama tinggi bagi anggota-anggota PBB. Bukan hanya menjadi bukti pengingkaran demokrasi, hak-hak istimewa semacam ini juga mengisyaratkan feodalisme kuno yang diakui secara berjamaah dalam sebuah organisasi modern.
Kedua, hegemoni negara-negara besar atas PBB sangat kasat mata. Tidak sedikit resolusi-resolusi PBB yang sesungguhnya merefleksikan kepentingan negara-negara besar. Ketika Iran mengembangkan teknologi nuklirnya untuk kebutuhan energi masa depan, maka dirancanglah resolusi PBB yang menuntut dihentikannya pengayaan uranium oleh negara mullah itu. Ketika Korea Utara melakukan uji coba peluncuran misil jarak jauh, PBB mengeluarkan resolusi yang mengutuk uji coba tersebut dan mendesak negara itu untuk menghentikan semua program rudal balistik.
Ironisnya, rancangan resolusi PBB yang mengutuk serangan Israel terhadap Lebanon dan terbukti membunuh banyak jiwa gagal dikeluarkan lantaran Amerika Serikat memvetonya. Padahal, resolusi ini didukung penuh oleh 10 anggota Dewan Keamanan dengan empat suara abstain dan hanya satu suara menolak.
Akibat dari diksriminasi dan hegemoni tersebut, Resolusi dikeluarkan jika memungkinkan dan menguntungkan mereka. Jika tidak, sebuah resolusi pun bahkan tidak penting untuk dihiraukan. Buktinya, Amerika dan Inggris tetap saja menggempur Irak di tahun 2003 kendati mayoritas anggota Dewan Keamanan menentang keras aksi tersebut, termasuk tiga negara pemilik hak veto: Prancis, Rusia dan Cina.
Membiarkan penjajahan
Sampai di sini, PBB jelas tidak bisa diharapkan mampu memfungsikan diri untuk mencapai tujuan berdirinya. Jika tidak semua, setidaknya salah satu tujuan utamanya, yakni memelihara perdamaian dunia, mustahil dapat tercapai dengan kondisi ini. Bahkan, kendati Piagam PBB menyebut bahwa organisasi ini didirikan untuk menghapus segala penjajahan di atas dunia, dia seperti membiarkan penjajahan atas bumi Palestina dan Irak baru-baru ini. Hegemoni negara tertentu dalam tubuh PBB itu sendiri pun merupakan bentuk neo-kolonialisme masa kini.
Memang, kehadiran PBB bukan tanpa guna. Bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia masih bisa merasakan manfaat kehadiran tangan-tangan PBB semisal Unesco dan Unicef. Hingga kini pun organisasi ini merupakan satu-satunya wahana berkumpul bangsa-bangsa sedunia. Namun membiarkan dan bahkan merestui eksistensi lembaga yang mencerminkan, mengesahkan, dan memfasilitasi hegemoni dan diskriminasi sama artinya dengan mengingkari martabat kemanusian dan kedaulatan bangsa-bangsa merdeka. Fungsi lembaga-lembaga seperti Unicef dan Unesco masih bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga nirlaba internasional yang lebih independen.
Satu-satunya solusi yang bisa diterima untuk tetap mempertahankan eksistensi PBB adalah dengan melakukan reformasi fundamental dalam tubuh PBB. Sayangnya, ini bukanlah ide baru. Usulan untuk mereformasi PBB sudah terdengar sejak tahun 1990-an. Bahkan, akhir tahun lalu pun Majelis Umum PBB telah menyetujui dokumen tentang reformasi PBB. Apa lacur, reformasi tersebut tidak menyentuh akar persoalan yang membuat PBB terkesan diskriminatif, hegemonik, dan tidak mampu menjadi medium yang efektif dalam memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
Karena itu, jangan salahkan jika muncul dua alternatif solusi yang lebih ekstrem. Yaitu, membubarkan PBB atau membuat perserikatan bangsa-bangsa tandingan. Memang terkesan emosional. Tetapi, adakah pilihan lain yang lebih menawarkan tatanan kehidupan internasional yang lebih adil, bermartabat, dan bersahabat, ketika PBB yang sekarang tidak mampu mereformasi dirinya secara fundamental? Jika tidak, lupakan saja PBB dalam Perang Lebanon kali ini. PBB sungguh telah lama mandul.