Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Radar Banyuwangi Jawa Pos, 27 Juni 2001
Banyuwangi mungkin dapat mewakili pluralisme budaya di Indonesia. Dari sisi budaya, Banyuwangi memiliki sejarah yang unik. Pertama, Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang paling belakangan dijajah Mataram Islam. Kendati pada akhirnya Mataram dapat menguasai Bumi Blambangan, perlawanan lokal terhadap dominasi Mataram sangat tinggi. Sehingga, meskipun mempunyai beberapa kesamaan dengan wilayah pedalaman Jawa, Banyuwangi memperlihatkan corak tersendiri.
Kedua, kerajaan-kerajaan Hindu Bali pernah beberapa kali mencoba memasuki wilayah Banyuwangi. Kendati mengalami kegagalan, tidak bisa dipungkiri, pengaruh Hindu Bali di Banyuwangi cukup signifikan. Apalagi wilayah ini, bersama wilayah Bali, juga menjadi tempat pelarian orang-orang Majapahit ketika ditaklukkan kerajaan Islam. Pengaruh dua budaya yang berbeda ini, yakni Islam Jawa dan Hindu Bali, pada gilirannya turut memperkaya corak kebudayaan Banyuwangi yang khas.
Penelitian Andrew Beatty, seorang antropolog Cambridge University, menunjukkan bahwa budaya kontemporer Banyuwangi mencerminkan cangkokan dari budaya-budaya Islam Jawa dan Hindu Bali. Bahasa asli Banyuwangi diwarnai oleh bahasa Jawa kuno yang diperkaya dengan pinjaman bahasa Bali. Seni tradisionalnya memakai bahasa Krama Jawa, tetapi tariannya dipengaruhi oleh tarian Bali.
Menurut Beatty, keragaman budaya tersebut juga dipengaruhi oleh proses migrasi masyarakat di Banyuwangi pada masa kolonial. Seperti diketahui, setelah menaklukkan Banyuwangi dalam perang puputan, yang konon menelan korban jiwa hingga 60.000 orang, Belanda menganjurkan orang Jawa dan sekitarnya untuk menempati Banyuwangi karena kekurangan penduduk. Orang Cina dari Batavia didatangkan. Orang Madura yang daerahnya kurang subur juga pindah ke Banyuwangi. Bahkan sampai pelacur-pelacur dari Semarang pun didatangkan ke daerah ini. Demikian pula dengan orang Jawa Tengah lainnya, yang oleh masyarakat Osing dikenal sebagai wong kulonan atau wong Mentaram.
Saat itu Banyuwangi dikenal sebagai daerah buangan. Belanda menempatkan para imigran ke wilayah-wilayah tertentu. Orang Madura ditempatkan di wilayah utara dan dipekerjakan dalam perkebunan. Nelayan Madura dan Bugis serta pedagang Cina dan Arab ditempatkan di pusat kota dan menjadi model bagi ekonomi plural. Saat ini kita masih bisa melihat tanda-tanda pernah terjadi pengelompokan imigran di Banyuwangi oleh Belanda. Fenomena Kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung Mandar, dan semisalnya menunjukkan pengelompokan tersebut.
Yang menarik, keragaman sosial budaya ini tidak menyebabkan Banyuwangi pernah memiliki pengalaman konflik sosial yang tinggi di masyarakat. Penelitian Limpad, sebuah LSM di Semarang, terhadap daerah-daerah berpotensi konflik di Indonesia menunjukkan bahwa Banyuwangi memiliki kekhasan tersendiri.
Dibandingkan dengan Pekalongan, Sambas, dan daerah-daerah lain yang juga memiliki potensi konflik yang sama, Banyuwangi relatif tidak memiliki pengalaman konflik sosial yang akut. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa masyarakat Banyuwangi relatif memiliki kesadaran terhadap pluralisme dan keragaman. Karenanya nyaris tidak ada konflik sosial yang disebabkan karena perbedaan suku, agama, ataupun visi politik. Masyarakat Banyuwangi hidup dalam kedamaian dan kebersamaan di tengah perbedaan.
Sayangnya, suasana perpolitikan tiga tahun terakhir ini telah mengubah citra Banyuwangi yang damai dalam keragaman menjadi menakutkan. Sejak mencuatnya isu dukun santet hingga merebaknya rekayasa Pasukan Berani Mati, citra yang melekat dalam diri Banyuwangi tidak lagi seindah dulu. Lebih-lebih ketika konflik politik Gus Dur-Amien Rais mulai merembet ke dataran yang lebih massif dan melibatkan NU-Muhammadiyah, citra kedamaian itu semakin memudar. Kasus penyilangan rumah warga Muhammadiyah yang menjadi sorotan nasional itu pun terjadi di Banyuwangi. Entah siapa yang tega menciptakan situasi yang dulu tak pernah terjadi ini.
Proses pencitraan negatif itu terus mengalami eskalasi tajam seiring dengan menajamnya konflik politik di tingkat elit. Terambatnya jalur transportasi, baik di pelabuhan Ketapang maupun di jalan-jalan protokol, sedikit banyak ikut memberi andil pada proses pencitraan negatif terhadap Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi, baik suku Osing, Jawa, Madura, keturunan Arab dan Cina, serta siapapun yang merasa memiliki Banyuwangi tentu tidak akan pernah merelakan terjadinya proses pencitraan tersebut.
Ada dua hal yang barangkali harus dilakukan untuk mengubah pencitraan tersebut. Pertama, kemampuan masyarakat untuk menyikapi segala sesuatu secara arif, termasuk dalam persoalan politik. Yang paling bertanggung jawab untuk persoalan ini adalah para pemimpin, terutama pemimpin formal. Paternalisme masyarakat Banyuwangi masi sangat kental. Ketaatan seseorang terhadap tokoh semisal kiai masih sangat tinggi. Para tokoh inilah yang memiliki kompetensi untuk mengajak dan mendidik masyarakat agar bersikap arif.
Kita tentu tidak mengendaki hanya karena persoalan elit politik kemudian terjadi permusuhan dan konflik sosial antar kita. Bukan tipe masyarakat Banyuwangi suka melakukan permusuhan, walaupun apapun akan dilakukan demi menegakkan harga diri. Para pemimpin formal seyogyanya menanamkan kembali kesadaran atas jati diri sebagai masyarakat Banyuwangi yang pemberani, apa adanya, namun menghormati, menghargai orang serta mencintai kedamaian.
Kedua, kemampuan untuk senantiasa siap sedia dan waspada. Pencitraan negatif yang terjadi di Banyuwangi boleh jadi melibatkan rekayasa pihak luar. Kita tentu masih ingat peristiwa Dukun Santet yang menasional itu. Masyarakat Banyuwangi agaknya meyakini adanya konspirasi nasional yang mengorbankan Banyuwangi melalui isu dukun santet. Boleh jadi kasus penyilangan rumah warga Muhammadiyah dan semisalnya juga merupakan rekayasa untuk meng-obok-obok masyarakat Minak Jinggo.
Masyarakat Banyuwangi harus memiliki kesadaran situasional yang baik agar tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Sekali lagi, karena sifat masyarakat yang masih sangat paternalistik, pemimpinlah yang paling bertanggung jawab.
Kebudayaan Banyuwangi sangat adiluhung. Ia terpatri dari pertemuan berbagai budaya. Eksistensi geografisnya berada dalam posisi silang antara Bali, Jawa, dan Madura. Demikian pula dengan eksistensi etnografinya, yang menempati posisi di tengah etnis Bali, Jawa, Madura, di samping etnis-etnis luar lainnya.
Keragaman dan keunikan budaya Banyuwangi juga dilengkapi dengan keindahan dan keelokan geografisnya. Keindahan pesisir timur Banyuwangi di kala bulan purnama bahkan sempat terekam dalam bait-bait syair lagu daerah (lagu Padang Bulan). Belum lagi keindahan bentang alam lainnya yang meliputi pegunungan, hutan, dan hempasan laut selatan.
Kekayaan alam dan budaya ini akan semakin lengkap manakala masyarakat Banyuwangi memperteguh jati dirinya sebagai komunitas yang pemberani, tangguh, menghargai sesama dan mencintai kedamaian. Kita tidak pernah menginginkan kedamaian dan keelokan Banyuwangi terlupakan dan dilupakan orang. Selamanya Banyuwangi akan memiliki karakteristiknya sebagai wilayah dengan karakteristik manusia dan alamnya yang damai, indah, dan bersahabat. Insyaallah!