Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Radar Banyuwangi Jawa Pos, 27 Juni 2001
Banyuwangi mungkin dapat mewakili pluralisme budaya di Indonesia. Dari sisi budaya, Banyuwangi memiliki sejarah yang unik. Pertama, Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang paling belakangan dijajah Mataram Islam. Kendati pada akhirnya Mataram dapat menguasai Bumi Blambangan, perlawanan lokal terhadap dominasi Mataram sangat tinggi. Sehingga, meskipun mempunyai beberapa kesamaan dengan wilayah pedalaman Jawa, Banyuwangi memperlihatkan corak tersendiri.
Kedua, kerajaan-kerajaan Hindu Bali pernah beberapa kali mencoba memasuki wilayah Banyuwangi. Kendati mengalami kegagalan, tidak bisa dipungkiri, pengaruh Hindu Bali di Banyuwangi cukup signifikan. Apalagi wilayah ini, bersama wilayah Bali, juga menjadi tempat pelarian orang-orang Majapahit ketika ditaklukkan kerajaan Islam. Pengaruh dua budaya yang berbeda ini, yakni Islam Jawa dan Hindu Bali, pada gilirannya turut memperkaya corak kebudayaan Banyuwangi yang khas.
Penelitian Andrew Beatty, seorang antropolog Cambridge University, menunjukkan bahwa budaya kontemporer Banyuwangi mencerminkan cangkokan dari budaya-budaya Islam Jawa dan Hindu Bali. Bahasa asli Banyuwangi diwarnai oleh bahasa Jawa kuno yang diperkaya dengan pinjaman bahasa Bali. Seni tradisionalnya memakai bahasa Krama Jawa, tetapi tariannya dipengaruhi oleh tarian Bali.
Menurut Beatty, keragaman budaya tersebut juga dipengaruhi oleh proses migrasi masyarakat di Banyuwangi pada masa kolonial. Seperti diketahui, setelah menaklukkan Banyuwangi dalam perang puputan, yang konon menelan korban jiwa hingga 60.000 orang, Belanda menganjurkan orang Jawa dan sekitarnya untuk menempati Banyuwangi karena kekurangan penduduk. Orang Cina dari Batavia didatangkan. Orang Madura yang daerahnya kurang subur juga pindah ke Banyuwangi. Bahkan sampai pelacur-pelacur dari Semarang pun didatangkan ke daerah ini. Demikian pula dengan orang Jawa Tengah lainnya, yang oleh masyarakat Osing dikenal sebagai wong kulonan atau wong Mentaram.
Saat itu Banyuwangi dikenal sebagai daerah buangan. Belanda menempatkan para imigran ke wilayah-wilayah tertentu. Orang Madura ditempatkan di wilayah utara dan dipekerjakan dalam perkebunan. Nelayan Madura dan Bugis serta pedagang Cina dan Arab ditempatkan di pusat kota dan menjadi model bagi ekonomi plural. Saat ini kita masih bisa melihat tanda-tanda pernah terjadi pengelompokan imigran di Banyuwangi oleh Belanda. Fenomena Kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung Mandar, dan semisalnya menunjukkan pengelompokan tersebut.
Yang menarik, keragaman sosial budaya ini tidak menyebabkan Banyuwangi pernah memiliki pengalaman konflik sosial yang tinggi di masyarakat. Penelitian Limpad, sebuah LSM di Semarang, terhadap daerah-daerah berpotensi konflik di Indonesia menunjukkan bahwa Banyuwangi memiliki kekhasan tersendiri.
Dibandingkan dengan Pekalongan, Sambas, dan daerah-daerah lain yang juga memiliki potensi konflik yang sama, Banyuwangi relatif tidak memiliki pengalaman konflik sosial yang akut. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa masyarakat Banyuwangi relatif memiliki kesadaran terhadap pluralisme dan keragaman. Karenanya nyaris tidak ada konflik sosial yang disebabkan karena perbedaan suku, agama, ataupun visi politik. Masyarakat Banyuwangi hidup dalam kedamaian dan kebersamaan di tengah perbedaan.
Sayangnya, suasana perpolitikan tiga tahun terakhir ini telah mengubah citra Banyuwangi yang damai dalam keragaman menjadi menakutkan. Sejak mencuatnya isu dukun santet hingga merebaknya rekayasa Pasukan Berani Mati, citra yang melekat dalam diri Banyuwangi tidak lagi seindah dulu. Lebih-lebih ketika konflik politik Gus Dur-Amien Rais mulai merembet ke dataran yang lebih massif dan melibatkan NU-Muhammadiyah, citra kedamaian itu semakin memudar. Kasus penyilangan rumah warga Muhammadiyah yang menjadi sorotan nasional itu pun terjadi di Banyuwangi. Entah siapa yang tega menciptakan situasi yang dulu tak pernah terjadi ini.
Proses pencitraan negatif itu terus mengalami eskalasi tajam seiring dengan menajamnya konflik politik di tingkat elit. Terambatnya jalur transportasi, baik di pelabuhan Ketapang maupun di jalan-jalan protokol, sedikit banyak ikut memberi andil pada proses pencitraan negatif terhadap Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi, baik suku Osing, Jawa, Madura, keturunan Arab dan Cina, serta siapapun yang merasa memiliki Banyuwangi tentu tidak akan pernah merelakan terjadinya proses pencitraan tersebut.
Ada dua hal yang barangkali harus dilakukan untuk mengubah pencitraan tersebut. Pertama, kemampuan masyarakat untuk menyikapi segala sesuatu secara arif, termasuk dalam persoalan politik. Yang paling bertanggung jawab untuk persoalan ini adalah para pemimpin, terutama pemimpin formal. Paternalisme masyarakat Banyuwangi masi sangat kental. Ketaatan seseorang terhadap tokoh semisal kiai masih sangat tinggi. Para tokoh inilah yang memiliki kompetensi untuk mengajak dan mendidik masyarakat agar bersikap arif.
Kita tentu tidak mengendaki hanya karena persoalan elit politik kemudian terjadi permusuhan dan konflik sosial antar kita. Bukan tipe masyarakat Banyuwangi suka melakukan permusuhan, walaupun apapun akan dilakukan demi menegakkan harga diri. Para pemimpin formal seyogyanya menanamkan kembali kesadaran atas jati diri sebagai masyarakat Banyuwangi yang pemberani, apa adanya, namun menghormati, menghargai orang serta mencintai kedamaian.
Kedua, kemampuan untuk senantiasa siap sedia dan waspada. Pencitraan negatif yang terjadi di Banyuwangi boleh jadi melibatkan rekayasa pihak luar. Kita tentu masih ingat peristiwa Dukun Santet yang menasional itu. Masyarakat Banyuwangi agaknya meyakini adanya konspirasi nasional yang mengorbankan Banyuwangi melalui isu dukun santet. Boleh jadi kasus penyilangan rumah warga Muhammadiyah dan semisalnya juga merupakan rekayasa untuk meng-obok-obok masyarakat Minak Jinggo.
Masyarakat Banyuwangi harus memiliki kesadaran situasional yang baik agar tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Sekali lagi, karena sifat masyarakat yang masih sangat paternalistik, pemimpinlah yang paling bertanggung jawab.
Kebudayaan Banyuwangi sangat adiluhung. Ia terpatri dari pertemuan berbagai budaya. Eksistensi geografisnya berada dalam posisi silang antara Bali, Jawa, dan Madura. Demikian pula dengan eksistensi etnografinya, yang menempati posisi di tengah etnis Bali, Jawa, Madura, di samping etnis-etnis luar lainnya.
Keragaman dan keunikan budaya Banyuwangi juga dilengkapi dengan keindahan dan keelokan geografisnya. Keindahan pesisir timur Banyuwangi di kala bulan purnama bahkan sempat terekam dalam bait-bait syair lagu daerah (lagu Padang Bulan). Belum lagi keindahan bentang alam lainnya yang meliputi pegunungan, hutan, dan hempasan laut selatan.
Kekayaan alam dan budaya ini akan semakin lengkap manakala masyarakat Banyuwangi memperteguh jati dirinya sebagai komunitas yang pemberani, tangguh, menghargai sesama dan mencintai kedamaian. Kita tidak pernah menginginkan kedamaian dan keelokan Banyuwangi terlupakan dan dilupakan orang. Selamanya Banyuwangi akan memiliki karakteristiknya sebagai wilayah dengan karakteristik manusia dan alamnya yang damai, indah, dan bersahabat. Insyaallah!
Wednesday, June 27, 2001
Monday, April 16, 2001
Dilema Politik Muhammadiyah-NU
Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2001
Beberapa waktu lalu, Abdul Mukti menulis artikel berjudul “Transformasi Muhammadiyah-NU” (SM 12/2). Siapapun tidak akan menyangkal bahwa dalam rentang satu dasawarsa terakhir ini, ada semacam akulturasi antara Muhammadiyah dan NU. Boleh dikata secara kultural tidak ada lagi sekat antara Muhammadiyah dan NU. Transformasi NU-Muhammadiyah terjadi nyaris di semua lini kehidupan sosial. NU merambah hingga ke segmen-segmen masyarakat di perkotaan, sama seperti Muhammadiyah memasuki ranah-ranah di pedesaan.
Sementara itu, Abdul Mukti menceritakan, banyak anak NU belajar di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya tidak sedikit generasi Muhammadiyah yang nyantri di pesantren-pesantren NU. Disparitas praktek ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri pembeda antara keduanya pun mulai luntur. Hal ini tampak pada fenomena tahlilan, tarawih, shalat Ied, dan sejenisnya. Walhasil, “agama NU” dan “agama Muhammadiyah” yang dulu pernah menjadi ironi dan menghantui ukhuwah islamiyah sedikit demi sedikit mulai beranjak dari balada Islam Indonesia.
Namun aura reformasi mulai membalik keharmonisan kultural ini. Konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais disadari atau tidak mengancam keharmonisan hubungan NU-Muhammadiyah. Siapapun boleh mengatakan bahwa aktivitas politik kedua tokoh ini tidak ada kaitannya dengan NU dan Muhammadiyah. Sehingga pertentangan antara Gus Dur dan Amien Rais tidak berarti pertentangan antara NU dan Muhammadiyah.
Hanya saja kita harus melihat bahwa paternalisme masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Masyarakat kita masih sangat “tergantung” kepada pimpinannya. Secara psikologis umat tidak akan dapat begitu saja mengabaikan keduanya sebagai mantan pucuk pimpinan NU dan Muhammadiyah. Kharisma keduanya di mata pengikutnya menyebabkan keduanya massih dianggap sebagai pemimpin informal bagi kelompoknya.
Terjadilah kemudian tragedi-tragedi semisal penyilangan rumah-rumah warga Muhammadiyah di Banyuwangi dan beberapa tempat di Jawa Timur, perusakan fasilitas dan amal usaha Muhammadiyah, dan tindakan-tindakan destruktif lain yang mengancam hubungan dua ormas bersaudara ini. Penyebabnya jelas, lantaran massa grass root menurunkan konflik elit ke dataran yang massif yang lebih rendah. Secara psikologis, konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais dianggap sebagai konflik antara NU dan Muhammadiyah. Kedua orang ini masih dianggap sebagai pemimpin informal yang mewakili kepentingan mereka.
Jika aksi-aksi beberapa warga NU di Jawa Timur tersebut dibiarkan, dan memancing reaksi warga Muammadiyah untuk berbuat serupa, maka konflik fisik horisontal pun akan menjadi kenyataan. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Meskipun masih banyak ormas-ormas lain di luar keduanya, tak akan ada yang menyangsikan bahwa konflik horisontal antara dua massa besar ini akan sangat berpengaruh bagi stabilitas nasional.
Peran Pemimpin
Di sinilah integritas pemimpin kedua massa dipertaruhkan. Dalam kondisi di mana masyarakat masih sangat paternalistik, peran pemimpin informal sangat signifikan. Pemimpin memiliki kharisma yang membuatnya akan sangat ditaati pengikutnya. Peristiwa-peristiwa destruktif di Jawa Timur seharusnya tidak terjadi manakala para pemimpinnya mampu mencegah massa bertindak emosional. Yang terjadi di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah justeru sebaliknya, para pimpinan lokal ikut-ikutan marah melihat “kelakuan” para elie poitik yang bertengkar sendiri. Kedatangan Presiden Abdurahman Wahid ke Pasuruan yang mampu meredam amarah massa menunjukkan betapa masyarakat kita sangat menaati pemimpinnya.
Hal serupa harus pula dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal. Tokoh-tokoh Muhammadiyah harus mampu mengendalikan massanya untuk tidak turut bertindak destruktif. Gelagat pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur yang mengisyaratkan “kesabaran ada batasnya” merupakan pertanda buruk bagi nasib hubungan NU-Muhammadiyah. Artinya, bila para pemimpin Muhammadiyah ikut-ikutan marah dan tak mampu menahan massanya bertindak serupa, bisa ditebak prahara yang bakal terjadi di bumi pertiwi.
Posisi NU dan Muhammadiyah memang sangat dilematis. Di mata warga Nahdliyyin, Gus Dur lebih dari sekedar presiden Republik Indonesia. Ia adalah cucu dari pendiri NU dan sekaligus anak dari pendiri republik. Darah biru yang dimilikinya, kemampuan intelektualnya yang tinggi, serta posisi spiritual dalam komunitasnya membuat para pengikutnya tidak bisa menerima junjungannya ini di-obok-obok. Bagaimana mungkin Gus Dur yang di mata pengikutnya adalah nyaris seperti wali bisa dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate. Tidak masuk akal bagi para pengikutnya Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduh-tuduhkan kepadanya.
Kemarahan sebagian warga NU secara irrasional dilampiaskan kepada warga Muhammadiyah. Setidaknya penyebabnya ada dua. Pertama, salah satu pengkritik keras pemerintahan Wahid adalah Amien Rais yang nota bene mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Amien Rais di mata Nahdliyyin menjadi simbol Muhammadiyah. Massa dengan karakter paternalistiknya yang kental menurunkan konflik di tingkat elit politik itu ke tingkat yang lebih kultural.
Kedua, refleks pelampiasan kepada warga Muhammadiyah tersebut merupakan kelanjutan dari konflik fiqhiyyah yang dulu pernah ada. Artinya, disparitas yang mulai menipis di masa Orde Baru antara warga dua ormas ini sebenarnya belum sampai ke akarnya. Sehingga sedikit saja hubungan antara keduanya terkontaminasi oleh hawa politik, potensi konflik pun kembali mencuat ke permukaan.
Sementara itu tentu saja warga Muhammadiyah tidak akan tinggal diam eksistensi dirinya terus menerus diintimidasi. Semangat untuk survive sebagai “makhluk hidup” muncul dengan sendirinya. Semangat survive ini berhadapan dengan emosi warga NU di tingkat grass root yang aspirasinya tersumbat di bangku parlemen. Terjadilah bom waktu yang siap meledak atau siap diledakkan manakala pemimpin kedua pihak tidak memiliki kedewasaan berpolitik.
Sindrom HAM
Sementara pemimpin kedua ormas berusaha menenangkan massanya untuk mencegah konflik horisontal, pemerintah pun harus bersikap tegas. Ketegasan ini penting untuk menegakkan wibawa pemerintahan Gus Dur, sekaligus untuk menampik anggapan Amerika Serikat yang mengatakan situasi di Indonesia lebih mirip “negara tanpa pemerintahan” daripada “adanya pemerintahan yang lemah”.
Diakui atau tidak, tuduhan Amerika tersebut agaknya beralasan. Apa yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Jawa Timur menunjukkan inferioritas aparat kemanan di hadapan massa yang tengah mengamuk. Nyaris tidak ada jaminan keamanan dan ketenteraman bagi segmen warga minoritas dalam komunitas mayoritas di suatu daerah. Tampaknya aparat keamanan sedang mengalami sindrom HAM. Kelihatan sekali aparat takut bertindak tegas karena khawatir dituduh melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga tindakan massa tertentu, yang efeknya justeru pelanggaran terhadap HAM, dibiarkan oleh aparat hanya karena takut “dianggap” melanggar HAM. Akibatnya, seperti yang kita lihat saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin memudar.
Kita tentu tidak menginginkan generasi setelah kita mengenal Indonesia hanya tinggal nama. Apa yang terjadi di tanah air merupakan ancaman serius bagi integrasi bangsa. Barangkali kita tidak perlu memaksakan persatuan dan kesatuan di tengah keragaman yang kita miliki. Yang kita perlukan adalah bagaimana mengajari masyarakat untuk hidup bersama dalam perbedaan. Terserah bagaimana kita melakukannya!
Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2001
Beberapa waktu lalu, Abdul Mukti menulis artikel berjudul “Transformasi Muhammadiyah-NU” (SM 12/2). Siapapun tidak akan menyangkal bahwa dalam rentang satu dasawarsa terakhir ini, ada semacam akulturasi antara Muhammadiyah dan NU. Boleh dikata secara kultural tidak ada lagi sekat antara Muhammadiyah dan NU. Transformasi NU-Muhammadiyah terjadi nyaris di semua lini kehidupan sosial. NU merambah hingga ke segmen-segmen masyarakat di perkotaan, sama seperti Muhammadiyah memasuki ranah-ranah di pedesaan.
Sementara itu, Abdul Mukti menceritakan, banyak anak NU belajar di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya tidak sedikit generasi Muhammadiyah yang nyantri di pesantren-pesantren NU. Disparitas praktek ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri pembeda antara keduanya pun mulai luntur. Hal ini tampak pada fenomena tahlilan, tarawih, shalat Ied, dan sejenisnya. Walhasil, “agama NU” dan “agama Muhammadiyah” yang dulu pernah menjadi ironi dan menghantui ukhuwah islamiyah sedikit demi sedikit mulai beranjak dari balada Islam Indonesia.
Namun aura reformasi mulai membalik keharmonisan kultural ini. Konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais disadari atau tidak mengancam keharmonisan hubungan NU-Muhammadiyah. Siapapun boleh mengatakan bahwa aktivitas politik kedua tokoh ini tidak ada kaitannya dengan NU dan Muhammadiyah. Sehingga pertentangan antara Gus Dur dan Amien Rais tidak berarti pertentangan antara NU dan Muhammadiyah.
Hanya saja kita harus melihat bahwa paternalisme masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Masyarakat kita masih sangat “tergantung” kepada pimpinannya. Secara psikologis umat tidak akan dapat begitu saja mengabaikan keduanya sebagai mantan pucuk pimpinan NU dan Muhammadiyah. Kharisma keduanya di mata pengikutnya menyebabkan keduanya massih dianggap sebagai pemimpin informal bagi kelompoknya.
Terjadilah kemudian tragedi-tragedi semisal penyilangan rumah-rumah warga Muhammadiyah di Banyuwangi dan beberapa tempat di Jawa Timur, perusakan fasilitas dan amal usaha Muhammadiyah, dan tindakan-tindakan destruktif lain yang mengancam hubungan dua ormas bersaudara ini. Penyebabnya jelas, lantaran massa grass root menurunkan konflik elit ke dataran yang massif yang lebih rendah. Secara psikologis, konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais dianggap sebagai konflik antara NU dan Muhammadiyah. Kedua orang ini masih dianggap sebagai pemimpin informal yang mewakili kepentingan mereka.
Jika aksi-aksi beberapa warga NU di Jawa Timur tersebut dibiarkan, dan memancing reaksi warga Muammadiyah untuk berbuat serupa, maka konflik fisik horisontal pun akan menjadi kenyataan. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Meskipun masih banyak ormas-ormas lain di luar keduanya, tak akan ada yang menyangsikan bahwa konflik horisontal antara dua massa besar ini akan sangat berpengaruh bagi stabilitas nasional.
Peran Pemimpin
Di sinilah integritas pemimpin kedua massa dipertaruhkan. Dalam kondisi di mana masyarakat masih sangat paternalistik, peran pemimpin informal sangat signifikan. Pemimpin memiliki kharisma yang membuatnya akan sangat ditaati pengikutnya. Peristiwa-peristiwa destruktif di Jawa Timur seharusnya tidak terjadi manakala para pemimpinnya mampu mencegah massa bertindak emosional. Yang terjadi di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah justeru sebaliknya, para pimpinan lokal ikut-ikutan marah melihat “kelakuan” para elie poitik yang bertengkar sendiri. Kedatangan Presiden Abdurahman Wahid ke Pasuruan yang mampu meredam amarah massa menunjukkan betapa masyarakat kita sangat menaati pemimpinnya.
Hal serupa harus pula dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal. Tokoh-tokoh Muhammadiyah harus mampu mengendalikan massanya untuk tidak turut bertindak destruktif. Gelagat pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur yang mengisyaratkan “kesabaran ada batasnya” merupakan pertanda buruk bagi nasib hubungan NU-Muhammadiyah. Artinya, bila para pemimpin Muhammadiyah ikut-ikutan marah dan tak mampu menahan massanya bertindak serupa, bisa ditebak prahara yang bakal terjadi di bumi pertiwi.
Posisi NU dan Muhammadiyah memang sangat dilematis. Di mata warga Nahdliyyin, Gus Dur lebih dari sekedar presiden Republik Indonesia. Ia adalah cucu dari pendiri NU dan sekaligus anak dari pendiri republik. Darah biru yang dimilikinya, kemampuan intelektualnya yang tinggi, serta posisi spiritual dalam komunitasnya membuat para pengikutnya tidak bisa menerima junjungannya ini di-obok-obok. Bagaimana mungkin Gus Dur yang di mata pengikutnya adalah nyaris seperti wali bisa dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate. Tidak masuk akal bagi para pengikutnya Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduh-tuduhkan kepadanya.
Kemarahan sebagian warga NU secara irrasional dilampiaskan kepada warga Muhammadiyah. Setidaknya penyebabnya ada dua. Pertama, salah satu pengkritik keras pemerintahan Wahid adalah Amien Rais yang nota bene mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Amien Rais di mata Nahdliyyin menjadi simbol Muhammadiyah. Massa dengan karakter paternalistiknya yang kental menurunkan konflik di tingkat elit politik itu ke tingkat yang lebih kultural.
Kedua, refleks pelampiasan kepada warga Muhammadiyah tersebut merupakan kelanjutan dari konflik fiqhiyyah yang dulu pernah ada. Artinya, disparitas yang mulai menipis di masa Orde Baru antara warga dua ormas ini sebenarnya belum sampai ke akarnya. Sehingga sedikit saja hubungan antara keduanya terkontaminasi oleh hawa politik, potensi konflik pun kembali mencuat ke permukaan.
Sementara itu tentu saja warga Muhammadiyah tidak akan tinggal diam eksistensi dirinya terus menerus diintimidasi. Semangat untuk survive sebagai “makhluk hidup” muncul dengan sendirinya. Semangat survive ini berhadapan dengan emosi warga NU di tingkat grass root yang aspirasinya tersumbat di bangku parlemen. Terjadilah bom waktu yang siap meledak atau siap diledakkan manakala pemimpin kedua pihak tidak memiliki kedewasaan berpolitik.
Sindrom HAM
Sementara pemimpin kedua ormas berusaha menenangkan massanya untuk mencegah konflik horisontal, pemerintah pun harus bersikap tegas. Ketegasan ini penting untuk menegakkan wibawa pemerintahan Gus Dur, sekaligus untuk menampik anggapan Amerika Serikat yang mengatakan situasi di Indonesia lebih mirip “negara tanpa pemerintahan” daripada “adanya pemerintahan yang lemah”.
Diakui atau tidak, tuduhan Amerika tersebut agaknya beralasan. Apa yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Jawa Timur menunjukkan inferioritas aparat kemanan di hadapan massa yang tengah mengamuk. Nyaris tidak ada jaminan keamanan dan ketenteraman bagi segmen warga minoritas dalam komunitas mayoritas di suatu daerah. Tampaknya aparat keamanan sedang mengalami sindrom HAM. Kelihatan sekali aparat takut bertindak tegas karena khawatir dituduh melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga tindakan massa tertentu, yang efeknya justeru pelanggaran terhadap HAM, dibiarkan oleh aparat hanya karena takut “dianggap” melanggar HAM. Akibatnya, seperti yang kita lihat saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin memudar.
Kita tentu tidak menginginkan generasi setelah kita mengenal Indonesia hanya tinggal nama. Apa yang terjadi di tanah air merupakan ancaman serius bagi integrasi bangsa. Barangkali kita tidak perlu memaksakan persatuan dan kesatuan di tengah keragaman yang kita miliki. Yang kita perlukan adalah bagaimana mengajari masyarakat untuk hidup bersama dalam perbedaan. Terserah bagaimana kita melakukannya!
Subscribe to:
Posts (Atom)